Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia
BAB I
Pendahuluan
1. Latar Belakang
Masalah
Pendidikan
Islam di Indonesia telah muncul dan berkembang dalam berbagai bentuk lembaga
yang bervariasi, seperti pesantren, madrasah, surau, dan meunasah. Dalam
perkembangannya, pendidikan Islam di Indonesia antara lain ditandai oleh
munculnya berbagai lembaga pendidikan secara bertahap, mulai dari yang amat
sederhana, sampai dengan tahap-tahap yang sudah terhitung modern dan lengkap.
Lembaga pendidikan Islam telah memainkan perannya sesuai dengan tuntutan
masyarakat dan zamannya. Perkembangan lembaga-lembaga pendidikan tersebut telah
menarik perhatian para ahli baik dari dalam maupun luar negeri untuk melakukan
studi ilmiah secara konferensif.
Kini
sudah banyak sekali hasil karya penelitian para ahli yang menginformasikan
tentang pertumbuhan dan perkembangan lembaga-lembaga pendidikan Islam tersebut.
Tujuannya selain untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuan yang bernuansa
keislaman, juga sebagai bahan rujukan dan perbandingan bagi para pengelola
pendidikan Islam pada masa-masa berikutnya. Hal ini sejalan dengan prinsip yang
umumnya dianut masyarakat Islam Indonesia, yaitu mempertahankan tradisi masa
lampau yang masih baik dan mengambil tradisi baru yang baik lagi. Dengan cara
demikian, upaya pengembangan lembaga pendidikan Islam tersebut tidak akan terserabut
dari akar kulturnya secara radikal[1]
Pada
awal perkembangan Islam di Indonesia, masjid merupakan satu-satunya pusat
berbagai kegiatan. Baik kegiatan keagamaan, sosial kemasyarakatan, maupun
kegiatan pendidikan. Bahkan kegiatan pendidikan yang berlangsung di masjid
masih bersifat sederhana kala itu sangat dirasakan oleh masyarakat muslim. Maka
tidak mengherankan apabila masyarakat dimasa itu menaruh 1 Samsul Nizar,
Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam, (Ciputat: Quantum Teaching,
2005), h. 279. LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI NUSANTARA JURNAL TARBIYA Volume: 1
No: 1 - 2015 (195-219) 197 harapan besar kepada masjid sebagai tempat yang bisa
membangun masyarakat muslim yang lebih baik. Awal mulanya masjid mampu
menampung kegiatan pendidikan yang diperlukan masyarakat. Namun karena
terbatasnya tempat dan ruang, mulai dirasakan tidak dapat menampung masyarakat
yang ingin belajar. Maka dilakukanlah berbagai pengembangan secara bertahap
hingga berdirinya lembaga pendidikan Islam yang secara khusus berfungsi sebagai
sarana menampung kegiatan pembelajaran sesuai dengan tuntutan masyarakat saat
itu. Dari sinilah mulai muncul beberapa istilah lembaga pendidikan di Indonesia
2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana peran pendidikan Pesantren/Pesantren
Terpadu di Indonesia
2. Bagaimana peran Pendidikan Madrasah
3. Bagaimana peran Pendidikan Non Formal di
Indonesia
4. Bagaimana kajian muatan nilai-nilai Islam
dalam Lembaga Pendidikan di Indonesia (dibawah naungan Kemendiknas dan Kemenag)
3. Tujuan
Pembahasan
1. Untuk mengetahui peran pendidikan
Pesantren/Pesantren Terpadu di Indonesia
2. Untuk mengetahui Peran Pendidikan Madasah
3. Untuk mengetahui peran Pendidikan Non Formal
lainnya di Indonesia
4. Untuk mengetahui kajian muatan nilai-nilai
Islam dalam Lembaga Pendidikan di Indonesia.
BAB II
Pembahasan
1. Lembaga
Pendidikan Pesantrean di Indonesia
Pondok
pesantren merupakan kata majemuk yang terdiri dari kata pondok dan pesantren.
Kedua kata ini memiliki makna yang berbeda. Pondok dalam bahasa Arab funduk
yang berarti tempat singgah, sedangkan pesantren adalah lembaga pendidikan
Islam yang dalam pelaksanaan pembelajarannya
tidak dalam bentuk klasikal. Jadi, pondok pesantren adalah lembaga pendidikan
Islam nonklasikal yang peserta didiknya disediakan tempat singgah atau
pemondokan[2]
Pondok
Pesantren dalam tinjauan historis pada mulanya merupakan lembaga pendidikan
penyiaran agama Islam konon tertua di Indonesia. Sejalan dengan dinamika
kehidupan masyarakat, fungsi itu telah berkembang menjadi semakin kaya dan
bervariasi, walaupun pada intinya tidak lepas dari fungsi semula. Berdirinya
suatu pesantren mempunyai latar belakang yang berbeda, yang pada intinya adalah
memenuhi kebutuhan masyarakat yang haus akan ilmu. Pada umumnya diawali karena
adanya pengakuan dari suatu masyarakat tentang sosok kyai yang memiliki
kedalaman ilmu dan keluhuran budi. Kemudian masyarakat belajar kepadanya baik
dari sekitar daerahnya, maupun luar daerah. Oleh karena itu mereka membangun
tempat tinggal disekitar tempat tinggal kyai.
Menurut
Hasbullah, pesantren di Indonesia memang tumbuh dan berkembang pesat pada abad
19. Di Jawa terdapat tidak kurang 1.853 pesantren, dengan jumlah santri tidak
kurang dari 16.500 santri. Jumlah tersebut belum termasuk pesantren-pesantren
yang berkembang di luar Jawa seperti di Sumatra, Kalimantan dan lain-lain.
Sedangkan dari segi materi, perkembangannya terlihat pada tahun 1920-an di
pondok-pondok pesantren Jawa Timur, antara lain seperti: Pesantren Tebuireng di
Jombang, pesantren Singosari di Malang yang mengajarkan ilmu-ilmu pendidikan
Umum, seperti matematika, bahasa Indonesia, bahasa Belanda, berhitung, ilmu
bumi dan sejarah.
Pesatnya perkembangan pesantren pada masa ini antara lain disebabkan oleh
hal-hal sebagai berikut: (1) para ulama dan kyai mempunyai kedudukan yang kokoh
dilingkungan kerajaan dan keraton, yakni sebagai penasehat raja atau sultan,
oleh karena itu pembinaan pondok pesantren mendapat perhatian besar dari para
raja dan sultan; (2) kebutuhan umat Islam akan sarana pendidikan yang mempunyai
ciri khas keislaman semakin meningkat, sementara sekolah-sekolah Belanda waktu
itu hanya diperuntukkan untuk golongan tertentu; (3) hubungan transformasi
antara Indonesia dan Mekkah semakin lancar sehingga memudahkan pemuda-pemuda
Islam Indonesia menuntut ilmu di Mekkah[3]
Menurut
para ahli, pasantren baru disebut pesantren bila memenuhi lima syarat yaitu:
ada kyai, ada pondok, ada masjid, ada santri, dan ada pengajaran membaca kitab
kuning. Dengan demikian bila orang menulis tentang pesantren maka topik-topik
yang harus ditulis sekurang-kurangnya adalah:
1.
Kyai pesantren, mungkin mencakup syarat-syarat kyai untuk zaman
kini dan nanti.
2.
Pondok, akan mencakup syarat-syarat fisik dan non fisik,
pembiayayaan, tempat, penjagaan, dan lain-lain.
3.
Masjid, cakupannya akan sama dengan pondok.
4.
Santri, melingkupi masalah syarat, sifat, dan tugas santri.
5.
Kitab kuning, bila diluaskan akan mencakup kurikulum pesantren
dalam arti yang luas[4]
Adapun
metode pembelajaran yang dilaksanakan di pondok pesantren adalah sebagai
berikut:
1.
Wetonan
Metode wetonan yaitu kyai membacakan salah satu kitab di depan para
santri yang juga memegang dan memerhatikan kitab yang sama. Dengan metode
tersebut, santri hanya menyimak, memerhatikan, dan mendengarkan pembacaan dan
pembahasan isi kitab yang dilakukan oleh kyai. Tidak digunakan absensi
kehadiran, evaluasi, dan tidak ada pola klasikal.
Dalam proses belajarnya, biasanya kyai dikelilingi santrinya yang
membentuk lingkaran, yang disebut halaqah.
2.
Sorogan
Metode sorogan adalah metode pembelajaran sistem privat yang
dilakukan santri kepada seorang kyai. Dalam metode sorogan ini, santri datang
kepada kyai dengan membawa kitab kuning atau kitab gundul, lalu membacanya di
depan kyai dan menerjemahkannya.
Metode sorogan sebagai metode yang sangat penting untuk para
santri, terutama santri yang bercita-cita menjadi kyai. Karena dengan metode
sorogan, santri akan memperoleh ilmu yang meyakinkan dan lebih fokus kepada
persyaratan utama menjadi kyai, yakni memahami ilmu alat dalam ilmu-ilmu yang
paling prinsipil di pondok pesantren.
3.
Muhawarah
Muhawarah adalah suatu kegiatan berlatih
bercakap-cakap dengan bahasa Arab yang diwajibkan oleh pesantren kepada santri
selama mereka tinggal di pondok. Kegiatan
tersebut biasanya digabungkan dengan latihan muhadharah dan muhadastah yang
biasanya dilaksanakan 1-2 minggu sekali. Tujuan kegiatan tersebut adalah untuk
melatih keterampilan para santri untuk berpidato[5]
4.
Mudzakarah
Mudzakarah merupakan suatu pertemuan ilmiah
yang secara spesifik membahas masalah diniah seperti ibadah dan akidah serta
masalah agama pada umumnya. Dalam mudzakarah terdapat dua tingkat kegiatan:
pertama, mudzakarah diselenggarakan oleh sesama santri untuk membahas suatu
masalah dengan tujuan melatih para santri dalam memecahkan persoalan dengan
menggunakan kitab-kitab yang tersedia. Kedua, mudzakarah yang dipimpin oleh kyai, dan hasil mudzakarah
para santri diajukan untuk dibahas dan dinilai seperti dalam suatu seminar.
Saat mudzakaran inilah santri menguji keterampilannya, baik dalam
bahasa arab maupun keterampilannya dalam mengutip sumbersumber argumentasi
dalam kitab-kitab klasik islam.
5.
Bandungan (bahasa Sunda)
Metode ini hanya berlaku di pesantren yang terdapat di Jawa Barat.
Istilah “bandungan” artinya “perhatikan” dengan seksama ketika kyai membaca dan
membahas isi kitab. Santri hanya memberi kode-kode atau menggantikan kalimat
yang dianggap sulit pada kitabnya. Setelah kyai selesai membahas isi kitab,
santri diperkenankan mengajukan pertanyaan atau pendapatnya
6.
Majelis taklim
Metode majelis taklim adalah suatu media penyampaian ajaran Islam
yang bersifat umum dan terbuka. Para jamaah terdiri atas berbagai lapisan yang
memiliki latar belakang pengetahuan bermacam-macam dan tidak dibatasi oleh
tingkatan usia maupun perbedaan kelamin. Pengajian seperti ini hanya diadakan
pada waktu tertentu saja. Ada yang seminggu sekali, dua minggu sekali, atau
sebulan sekali. Materi yang diajarkan bersifat umum berisi nasihat-nasihat
keagamaan yang bersifat amar ma’ruf nahi munkar. Ada kalanya materi diambil
dari kitab-kitab tertentu, seperti tafsir Quran dan Hadits[6]
Eksistensi kyai dalam pesantren merupakan lambang kewahyuan yang
selalu disegani, dipatuhi, dan dihormati secara ikhlas. Para santri dan
masyarakat sekitar selalu berusaha agar dapat dekat dengan kyai untuk
memperoleh berkah, sebab menurut anggapan mereka seperti yang dikatakan oleh
Zamakhsyari Dhofier, kyai memiliki kedudukan yang tak terjangkau, yang tak
dapat sekolah dan masyarakat memahami keagungan Tuhan dan rahasia alam13, kyai
adalah tempat bertanya atau sumber-sumber referensi, tempat menyelesaikan
segala urusan dan tempat meminta nasihat dan fatwa[7]
Berikut ini dipaparkan beberapa ciri yang menonjol dalam kehidupan
pesantren, sehingga membedakannya dengan sistem pendidikan lainnya. Setidaknya
ada delapan ciri pendidikan pesantren yaitu:
1. Adanya hubungan akrab antara santri dengan kyainya
2. Adanya kepatuhan santri kepada kyai
3. Hidup hemat dan penuh kesederhanaan
4. Kemandirian
5. Berani menderita untuk
mencapai suatu tujuan
6. Pemberian ijazah[8]
2. Pendidikan
Madrasah di Indonesia
Kata
madrasah dalam bahasa Arab madrasatun berarti tempat atau wahana untuk
mengenyam proses pembelajaran. Dalam bahasa Indonesia madrasah disebut dengan
sekolah yang berarti bangunan atau lembaga untuk belajar dan memberi pengajaran[9]
Dari pengertian di atas maka jelaslah bahwa madrasah
adalah wadah atau tempat belajar ilmu-imu keislaman dan ilmu pengetahuan
keahlian lainnya yang berkembang pada zamannya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa istilah madrasah bersumber
dari Islam itu sendiri.
Dalam perkembangannya di Indonesia, madrasah islamiyah
ini merupakan lembaga yang berdiri jauh sebelum SD, SMP, SMU/ SMK, atau
perguruan tinggi/ Universitas. Sebab
madrasah adalah salah satu sarana atau media tempat yang strategis bagi kyai/
ustadz dengan masyarakat dalam rangka menyampaikan aspek-aspek ajaran islam.
Melalui madrasah juga, para raja muslim, menyampaikan program kenegaraan dan
keagaman yang dianutnya[10]
Sejarah
dan perkembangan madrasah akan dibagi dua periode, yaitu:
a.
Periode Sebelum Kemerdekaan
Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam berfungsi
menghubungkan sistem lama dengan sistem baru dengan jalan mempertahankan
nilai-nilai lama yang masih baik dan masih dapat dipertahankan dan mengambil
sesuatu yang baru dalam ilmu, teknologi, dan ekonomi yang bermanfaat bagi
kehidupan umat Islam. Oleh karena itu, isi kurikulum madrasah pada umumnya
adalah apa yang diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti
pesantren, ditambah dengan beberapa materi pelajaran yang disebut dengan ilmu umum[11]
Latar
belakang pertumbuhan madrasah di Indonesia dapat dikembalikan pada dua situasi
yaitu[12]
1.
Gerakan Pembaruan Islam di Indonesia
Gerakan
pembaruan Islam di Indonesia muncul pada awal abad ke-20 yang dilatarbelakangi
oleh kesadaran dan semangat yang kompleks sebagaimana diuraikan
oleh Karel A Steenbrink dengan mengidentifikasi empat faktor yang mendorong
gerakan pembaruan Islam di Indonesia, antara lain;
a. Keinginan untuk
kembali kepada Al-Quran dan Hadits
b. Semangat
nasionalisme dalam melawan penjajah
c. Memperkuat
basis gerakan sosial, budaya, dan politik
d. Pembaruan
pendidikan Islam di Indonesia.
Bagi tokoh-tokoh pembaruan,
pendidikan kiranya senantiasa dianggap sebagai aspek yang strategis untuk
membentuk sikap dan pandangan keislaman masyarakat. Oleh karena itu, pemunculan
madrasah tidak bisa lepas dari gerakan pembaruan Islam yang dimulai oleh usaha
beberapa orang tokoh-tokoh intelektual agama Islam yang selanjutnya
dikembangkan oleh organisasiorganisasi Islam.
2.
Respon pendidikan Islam terhadap kebijakan pendidikan Hindia
Belanda
Pertama kali Belanda datang ke Nusantara hanya untuk
berdagang, tetapi karena kekayaan alam Nusantara yang sangat banyak maka tujuan
utama untuk berdagang berubah untuk menguasai wilayah Nusantara dan menanamkan
pengaruh Nusantara sekaligus dengan mengembangkan pahamnya yang terkenal dengan
semboyan 3G yaitu, Glory (kemenganan dan kekuasaan), Gold (emas atau kekayaan
bangsa Indonesia), dan Gospel (upaya selibisasi terhadap umat Islam di
Indonesia)[13]
Pada perkembangan selanjutnya di awal abad ke-20 atas
pemerintah Gubernur Jenderal Van Heutsz sistem pendidikan diperluas dalam
bentuk sekolah desa, walaupun masih diperuntukkan terbatas bagi kalangan
anak-anak bangsawan. Namun
pada masa selanjutnya, sekolah ini dibuka secara luas untuk rakyat umum dengan
biaya yang murah[14]
Dengan terbukanya kesempatan yang luas bagi masyarakat
umum untuk memasuki sekolah-sekolah yang diselenggarakan secara tradisional
oleh kalangan Islam mendapat tantangan dan saingan berat, terutama karena
sekolahsekolah pemerintah Hindia Belanda dilaksanakan dan dikelola secara
modern terutama dalam hal kelembagaan, kurikulum, metodologi, sarana, dan
lain-lain. Perkembangan
sekolah yang demikian jauh dan merakyat menyebabkan tumbuhnya ide-ide di
kalangan intelektual Islam untuk memberikan respon dan jawaban terhadap
tantangan tersebut dengan tujuan untuk memajukan pendidikan Islam. Ide-ide
tersebut muncul dari tokoh-tokoh yang pernah mengenyam pendidikan di Timur
Tengah atau pendidikan Belanda. Mereka mendirikan lembaga pendidikan baik
secara perorangan maupun secara kelompok/
organisasi yang dinamakan madrasah atau sekolah. Madrasahmadrasah yang
didirikan tersebut antara lain:
1. Madrasah
(Adabiyah School). Madrasah ini didirikan oleh syekh Abdullah Ahmad pada tahun
1907 di Padang Panjang. Belum cukup satu tahun madrasah ini gagal berkembang
dan dipindahkan ke Padang. Pada tahun 1915 madrasah ini mendapat pengakuan dari
Belanda dan berubah menjadi Hollands Inlandshe School (HIS).
2. Sekolah Agama
(Madras School). Didirikan oleh syekh M. Thaib Umar di Sungayang, Batusangkar
pada tahaun 1910. Madrasah ini pada tahun 1913 terpaksa ditutup karena alasan
kekurangan tempat. Namun pada tahun 1918, Mahmud Yunus mendirikan Diniyah
School sebagai kelanjutan dari Madrasah School.
3. Madrasah
Diniyah (Diniyah School). Madrasah Diniyah didirikan pada tanggal 10 Oktober
1915 oleh Zainuddin Labai El Yunisiy di Padang Panjang. Madrasah ini merupakan
madrasah sore yang tidak hanya mengajarkan pelajaran agama tetapi pelajaran
umum.
4. Madrasah Muhammadiyah.
Madrasah ini tidak diketahui berdirinya dengan pasti, namun diperkirakan
berdiri pada tahun 1918. Yang didirikan oleh organisasi Muhammadiyah.
5. Arabiyah
School. Madrasah ini didirikan pada tahun 1918 di Ladang Lawas oleh Syekh
Abbas.
Madrasah-madrasah di atas merupakan
pionir dalam pendirian madrasah-madrasah lain
di berbagai daerah lainnya untuk melakukan pembaruan pendidikan Islam di
Indonesia.
b.
Periode Sesudah Kemerdekaan
Setelah
kemerdeaan Indonesia, kemudian pada tanggal 3 Januari 1946 dibentuklah
Departemen Agama yang akan mengurus masalah-maslah keberagaman agama termasuk
di dalamnya pendidikan, khususnya madrasah. Namun pada perkembangan selanjutnya
madrasah walaupun sudah berada di bawah naungan Departemen Agama tetapi hanya
sebatas pembinaan dan pengawasan saja[15]. Keadaaan
ini masih berlangsung sampai dengan dikeluarkannya SKB 3 Menteri tanggal 24
maret 1975, yang berusaha mengembalikan ketertinggalan pendidikan Islam untuk
memasuki mainstream pendidikan Nasional[16].
Kebijakan ini membawa pengaruh yang sangat besar bagi madrasah, karena pertama,
ijazah dapat mempunyai nilai yang sama dengan sekolah umum yang sederajat,
kedua, lulusan sekolah madrasah dapat melanjutkan
ke sekolah umum yang setingkat lebih tinggi, dan yang ketiga, siswa madrasah
dapat pindah ke sekolah umum yang setingkat[17].
Bagi masyarakat muslim Indonesia, kata madrasatun setelah
diindonesiakan menjadi madrasah, memiliki makna sendiri yaitu lembaga
pendidikan sekolah yang berciri khaskan agama Islam yang sederajat dengan SMA/
SMK (UUSPN, 2003). Dengan kata
lain, madrasah adalah lembaga pendidikan yang mengajarkan ilmu pengetahuan
keagamaan dan ilmu pengetahuan umum lainnya[18]
Secara hirarkies, Madrasah bila dipelajari dari segi
historis, memiliki tiga perjenjangan yaitu madrasah awaliyah, madrasah al
wustha, dan madrasah al a’la. Jika dibahasa indonesiakan, masing-masing
memiliki makna sebagai berikut: “sekolah pemula” yang kemudian lebih dikenal
dan dibakukan menjadi Sekolah Dasar (SD), sekolah menengah” meliputi Sekolah Mengah
Pertama (SMP) dan Sekolah Umum (SMU). Madrasah
al a’la berarti “sekolah atas” atau bahkan “sekolah tinggi”.
Dari kedua makna ini yakni sekolah Atas atau Sekolah
Tinggi, yang lebih dikenal di Indonesia adalah makna yang pertama, yaitu
“Sekolah Menengah Atas (SMA)”. Karenanya,
wajar jika Madrasah Aliyah (MA) sederajat dengan SMU/SMK, dan bukan Sekolah
Tinggi yang sederajat dengan Perguruan Tinggi/ Universitas. Hirarkis tersebut
menggambarkan bahwa perjenjangan pendidikan yang sekarang berlangsung adalah merupakan
kelanjutan dari perjenjangan yang telah diberlakukan di madrasah yang
diselenggarakan oleh masyarakat muslim Indonesia.
Tetapi pada perkembangan selanjutnya, setelah
perjenjangan yang ada pada pendidikan di Indonesia melalui SD, SMP, dan
seterusnya dibakukan, lembaga-lembaga pendidikan Islam seprti MI, MTS, dan
seterusnya yang menggunakan bahasa Arab, baik dalam pelaksanaannya maupun
materi serta metode pengajarannya semakin tergeser ke pinggir dari perhatian
masyarakat muslim Indonesia. Keadaan
ini dapat diperhatikan dari sebagian remaja muslim cenderung memilih untuk
melanjutkan studinya ke SMP atau SMA/ SMK dari pada melanjutkan studinya ke
madrasah.[19]
Dalam
perkembangannya, sistem pendidikan Islam madrasah sudah tidak menggunakan
sistem pendidikan yang sama dengan sistem pendidikan Islam pesantren. Karena di
lembaga pendidikan madrasah ini sudah mulai dimasukkan pelajaran-pelajaran umum
seperti sejarah ilmu bumi, dan pelajaran umum lainnya. Sedangkan sebagian
metode pengajarannya sudah tidak lagi menggunakan sistem halaqah seperti di
pesantren, melainkan sudah mengikuti metode pendidikan modern barat, yaitu
dengan menggunakan ruang kelas, kursi, meja, dan papan tulis untuk proses
belajar mengajar[20]
Eksistensi Lembaga Pendidikan Madrasah di Pada masa
Kemerdekaan.
Madrasah
yang merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam, memiliki
kiprah panjang dalam dunia pendidikan di Indonesia. Pendidikan madrasah
merupakan bagian dari pendidikan nasional yang memiliki kontribusi tidak kecil
dalam pembangunan pendidikan nasional atau kebijakan pendidikan nasional.
Madrasah telah memberikan sumbangan yang sangat signifikan dalam proses
pencerdasan masyarakat dan bangsa, khususnya dalam konteks perluasan akses
dan pemerataan pendidikan.
kiprah panjang dalam dunia pendidikan di Indonesia. Pendidikan madrasah
merupakan bagian dari pendidikan nasional yang memiliki kontribusi tidak kecil
dalam pembangunan pendidikan nasional atau kebijakan pendidikan nasional.
Madrasah telah memberikan sumbangan yang sangat signifikan dalam proses
pencerdasan masyarakat dan bangsa, khususnya dalam konteks perluasan akses
dan pemerataan pendidikan.
Tugas
yang diemban madrasah di era global ini semakin berat. Sebagai
lembaga pendidikan yang berbasis nilai-nilai keagamaan, madrasah tidak hanya
dituntut untuk melakukan transfer of knowledge, tetapi jugatransfer of Islamic
values. Padahal, lembaga madrasah sendiri saat ini masih bergelut dengan sekian
permasalahan internal yang tidak kunjung selesai.
lembaga pendidikan yang berbasis nilai-nilai keagamaan, madrasah tidak hanya
dituntut untuk melakukan transfer of knowledge, tetapi jugatransfer of Islamic
values. Padahal, lembaga madrasah sendiri saat ini masih bergelut dengan sekian
permasalahan internal yang tidak kunjung selesai.
Munculnya MI, MTs, dan MA ternyata memunculkan persoalan baru,
yaitu rendahnya mutu pendidikan lembaga-lembaga itu dibanding sekolah-sekolah
pada umumnya. Melihat fenomena tersebut pada 1974, muncul gagasan untuk
membangun pendidikan satu atap, di mana madrasah akan dilebur menjadi satu
dengan sekolah-sekolah yang ada. Gagasan semacam ini tentu ditolak oleh umat
Islam. Alasannya, kalau mutu pendidikan madrasah kurang berkualitas, langkah
yang paling arif bukan meleburnya dengan sekolah-sekolah umum, tetapi
memperbaiki mutu pendidikan madrasah tersebut.
yaitu rendahnya mutu pendidikan lembaga-lembaga itu dibanding sekolah-sekolah
pada umumnya. Melihat fenomena tersebut pada 1974, muncul gagasan untuk
membangun pendidikan satu atap, di mana madrasah akan dilebur menjadi satu
dengan sekolah-sekolah yang ada. Gagasan semacam ini tentu ditolak oleh umat
Islam. Alasannya, kalau mutu pendidikan madrasah kurang berkualitas, langkah
yang paling arif bukan meleburnya dengan sekolah-sekolah umum, tetapi
memperbaiki mutu pendidikan madrasah tersebut.
Mencari jalan terbaik atas dua gagasan tersebut, pada 1975,
Menteri
Dalam Negeri, Menteri Agama, dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada
saat itu, mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang peningkatan
mutu pendidikan madrasah (Nata, 2005: 203). Menurut SKB itu, yang dimaksud
dengan madrasah adalah lembaga pendidikan yang menjadikan mata pelajaran
agama Islam sebagai mata pelajaran dasar, yang diberikan sekurang-kurangnya 30
persen di samping mata pelajaran umum.
Dalam Negeri, Menteri Agama, dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada
saat itu, mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang peningkatan
mutu pendidikan madrasah (Nata, 2005: 203). Menurut SKB itu, yang dimaksud
dengan madrasah adalah lembaga pendidikan yang menjadikan mata pelajaran
agama Islam sebagai mata pelajaran dasar, yang diberikan sekurang-kurangnya 30
persen di samping mata pelajaran umum.
Setelah
Indonesia merdeka, segera dilakukan upaya-upaya pembaharuan dalam bidang
pendidikan dan pengajaran. BP KNIP (Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat) dalam sidangnya tanggal 29 Desember
1945 membuat sejumlah rekomendasi kepada Kementerian Pendidikan
Pengajaran dan Kebudayaan, yang intinya agar selekas mungkin
mengusahakan pembaharuan pendidikan dan pengajaran
yang dijalankan sesuai dengan rencana pokok usaha pendidikan dan
pengajaran baru. Dalam rekomendasi itu juga disinggung tentang keberadaan madrasah dan pesantren, yakni: “… Madrasah dan pesantren-pesantren yang pada hakekatnya adalah satu alat dan sumber pendidikan dan pencerdasan rakyat jelata yang sudah berurat dan berakar dalam masyarakat Indonesia umumnya, hendaklah pula mendapat perhatian dan bantuan yang nyata dengan berupa tuntunan dan
bantuan material dari pemerintah. ”[21]
pengajaran baru. Dalam rekomendasi itu juga disinggung tentang keberadaan madrasah dan pesantren, yakni: “… Madrasah dan pesantren-pesantren yang pada hakekatnya adalah satu alat dan sumber pendidikan dan pencerdasan rakyat jelata yang sudah berurat dan berakar dalam masyarakat Indonesia umumnya, hendaklah pula mendapat perhatian dan bantuan yang nyata dengan berupa tuntunan dan
bantuan material dari pemerintah. ”[21]
Tentang pendidikan agama, Panitia Penyelidik
merekomendasikan hal-hal berikut; (a) Pelajaran agama dalam semua sekolah
diberikan pada jam pelajaran sekolah, (b) Para guru dibayar oleh pemerintah,
(c) Pada Sekolah Dasar, pendidikan agama diberikan mulai kelas IV, (d) Pendidikan
tersebut diselenggarakan seminggu sekali pada jam tertentu, (e) Para guru agama
diangkat oleh Departemen Agama, (f)
Para guru agama diharuskan juga cakap dalam pendidikan umum, (g) Pemerintah menyediakan buku untuk pendidikan agama, (h) Diadakan latihan bagi para guru agama, (i) Kualitas pesantren dan madrasah harus diperbaiki, dan (j) Pengajaran bahasa Arab tidak dibutuhkan.[22] Dari sekian rekomendasi di atas, perhatian khusus terhadap madrasah hanya pada bagian (i), selebihnya diarahkan pada pendidikan agama disekolah umum.
Para guru agama diharuskan juga cakap dalam pendidikan umum, (g) Pemerintah menyediakan buku untuk pendidikan agama, (h) Diadakan latihan bagi para guru agama, (i) Kualitas pesantren dan madrasah harus diperbaiki, dan (j) Pengajaran bahasa Arab tidak dibutuhkan.[22] Dari sekian rekomendasi di atas, perhatian khusus terhadap madrasah hanya pada bagian (i), selebihnya diarahkan pada pendidikan agama disekolah umum.
Eksistensi Madrasah pada masa Orde Lama
Setelah Indonesia merdeka sistem Pendidikan menemukan
momentumnya untuk berkembang lebih luas, terbuka dan demokratis. Kehadiran
Madrasah sebagai lembaga pendidikan yang relatif baru di Indonesia terus
mengalami perkembangan. Mengantisipasi perkembangan yang pesat dalam dunia
pendidikan ini terus mengalami perkembangan. Kehadiran Madrasah tidak berarti
menginggalkan pengajian Tradisional, melainkan justu melengkapi, berjalan
berdampingan dan saling mengisi. Bahkan setelah Indonesia merdeka, mendapat
perhatian Pemerintah, terutama setelah terbentuknya Departemen Agama. Untuk
menindaklanjuti pendidikan agama melalui Madrasah , Badan Pekerja Komite
Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) dalam bulan Desember 1945 menganjurkan agar
pendidikan Pesantren dan Madrasah diteruskan, bahkan bahkan mendesak pemerintah
agar memberikan bantuan kepada Pesantren dan Madrasah. (Munir, 2010:20).
Melalui Kementerian Agama segera dibentuk bagian khusus
yang bertugas menyusun pelajaran dan pendidikan Agama Islam dan Kristen,mengawasi
pengangkatan guru agama, dan mengawasi guru agama. (Munir,2010:21). Selain itu dianjurkan juga agar pesantren
tradisional dikembangkan menjadi Madrasah yang disusun secara klasikal, memakai
kurikulum yang tetap dan dimasukkan mata pelajaran umum di samping agama,
sehingga santri di Madrasah juga mendapatkan pendidikan umum yang sama dengan
murid di sekolah umum. (Yatim, 2010:20). Perhatian Pemerintah tersebut
diwujudkan dengan menempatkan agama sebagai pondasi bangsa dan negara.
Keberadaan pesantren dan madrasah mendapat pengakuan
secara sah dari pemerintah melalui BPKNIP sebagai Badan Pekerja MPR waktu itu.
Hal-hal ini dapat dilihat dalam rumusan Pokok-pokok Usaha Pendidikan dan
Pengajaran yang dirumuskan oleh BPKNIP bahwa pesantren dan madrasah pada
hakikaktnya adalah salah satu sumber pendidikan dan pencerdasan bangsa yang
sudah berurat berakar dalam masyarakat Indonesia, hendaknya pula mendapat
perhatian dan bantuan yang nyata berupa pembinaan dan bantuan dana dari pemerintah.
(Zarkasyi, 2000:40)
Dari uraian tersebut dapat dipahami, bahwa
pesantren dan madrasah bukan hanya mendapat pengakuan, tetapi juga dukungan
dalam bentuk pembinaan dan sokongan dana. Wewenang dalam pembinaan pesantren
dan madrasah diserahkan langsung kepada Departemen Agama Republik Indonesia.
Departemen yang dibentuk pada tanggal 31 Januari 1946 memiliki fungsi antara
lain, mengelola pendidikan agama di madrasah dan pesantren dan mengurus
pendidikan agama di sekolah-sekolah umum. Selain itu, khususnya dalam kabinet
Wilopo , tugas Departemen Agama ditambah yaitu; melaksanakan pendidikan dan
keguruan untuk pengajar agama di sekolah umum.
.Dengan
tugas-tugas seperti diuraikan diatas, Kedudukan Departemen Agama dapat
dikatakan sebagai representasi umat Islam dalam memperjuangkan penyelenggaraan
pendidikan secara lebih luas di Indonesia. Dalam hubungannya dalam perkembangan
Madrasah Kementerian Agama menjadi tumpuan dalam politis yang dapat mengangkat
madrasah sehingga memperoleh perhatian yang terus menerus dari Pemerintah.
Kementerian Agama secara intensif mengembangkan program-program perluasan dan
peningkatan mutu madrasah.
Undang-undang sistem Pendidikan pertama yang
berlaku di Indonesia setelah Kemerdekaan
adalah UU No 4 Tahun 1950 yang mengakui eksistensi madrasah dalam sistem
pendidikan Nasional. Sebagai tindak lanjut dari Undang-undang tersebut,
Kementerian Agama mengeluarkan kebijakan bahwa madrasah yang diakui dan
memenuhi syarat untuk menyelenggarakan kewajiban belajar harus terdaftar pada
Kementerian Agama. Meskipun tampaknya pendidika Madrasah telah mendapat
pengakuan dari pemerintah, namun perhatiannya masih sangat kecil. Hal ini
nampak jelas di dalam UU No 4 Tahun 1950 pada pasal 3, yang menyebutkan “bahwa
tujuan pendidikan Nasional adalah membentuk manusia susila yang cakap dan warga
negara yang demokratis, serta bertanggung jawab terhadap kesejahteraan
masyarakat dan tanah airnya.” Dari rumusan ini tidak tampak adanya perhatian
pemerintah terhadap pembinaan mental spiritual dan keagamaan secara
sungguh-sungguh melalui proses pendidikan.Hal ini tampak jelas lagi didalam
pasal 20 ayat 1, yang menyebutkan bahwa pendidikan agama di sekolah bukan
pelajaran wajib dan bergantung pada persetujuan orang tua siswa. Bahkan
dijelaskan bahwa mata pelajaran pendidikan agama bukan merupakan faktor penentu
dalam kenaikan kelas peserta didik. (Ridwan, 1978:130-131).
Kebijakan pemerintah yang menyangkut
pengelolaan pendidikan agama telah berlangsung dengan baik, yang ditandai
dengan beberapa regulasi seperti Ketetapan MPRS No II /MPRS/1960 yang memberi
perhatian kepada Lembaga Pendidikan Keagamaan. Ketetapan MPRS No II/MPRS/1960
ini berisi tentang; “ Garis-garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta
Berencana”. Didalam ketetapannya tersebut, disebutkan bahwa “Pendidikan Agama
menjadi program wajib sekolah-sekolah mulai dari Sekolah Dasar sampai
Universitas Negeri. Terbutnya beberapa
ketetapan MPRS tersbut telah membutkikan dan mensahkan bahwa pendidikan agama
dan lembaga pendidikan agama seperti pesantren dan madrasah mendapat pengakuan
pemerintah melalui konstitusi negara, sehingga madrasah dan pesantren adalah
bagian integral dari sistem pendidikan Nasional.
Eksistensi Madrasah pada masa Orde Baru.
Di awal pemerintahan Orde Baru, ketika pasca
pemberontakan PKI tahun 1965, pemerintah Indonesia perhatian yang
sungguh-sungguh terhadap lembaga pendidikan Islam, sebab disadari bahwa dengan
bermentalkan agama yang kuat dan kokoh, bangsa Indonesia akan terhindar dari
paham komunis.
Selanjutnya dalam meningkatkan mutu Madrasah, pemerintah
melalui Kementerian Agama pada tahun 1967, mengeluarkan kebijakan untuk
menegerikan sejumlah madrasah dalam semua tingkatan mulai dari Ibtidaiyah
hingga Aliyah. Usaha ini dapat menegerikan Madrasah sejumlah 123 madrasah
Ibtida’iyah, sehingga total Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) yang berstatus
Negeri menjadi 358. Dalam waktu yang singkat, juga dapat dinegerikan sejumlah
182 Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN), dan 42 Madrasah Aliyah Negeri (MAN).
Dengan memberikan status Negeri kepada lembaga Pendidikan Islam berarti
tanggung jawab Pemerintah bersama masyarakat, baik dalam pengaturan dan kontrol
akan menjadi lebih efektif. (Maksum, 1999:132; Halim,2008:85-86).
Untuk memperkuat struktur madrasah sebagai lembaga
pendidikan, maka diterbitkanlah Surat Keputusan Bersam (SKB) Tiga Menteri pada
tahun 1975, yaitu Kementerian Agama, KementerianPendidikan Pengajaran &
Kebudayaan (PP&K), dan Kementerian Dalam Negeri. Adapun inti SKB itu pada
Bab II pasal 2 ialah: (1) ijazah madrasah dapat mempunyai nilai yang sama
dengan ijazah sekolah umum yang setingkat/sederajat; (2) Lulusan Madrasah dapat
melanjutkan ke sekolah umum yang setingkat diatasnya; (3) Siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah
umum/sederajat;. (Daulay, 2004:152)
Untuk meningkatkan kualitas madrasah sebagai lembaga pendidikan sebagai Lembaga
Pendidikan, pemerintah melalui Kementerian Agama dibawah kepemimpinan Munawir
Sadzali pada tahun 1987, didirikanlah Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK).
Madrasah ini diharapkan agar menjadi lembaga pendidikan yang mampu mencetak
ulama’ yang menguasai ilmu agama dan pengetahuan umum dengan baik, utamanya
Bahasa Arab dan Bahasa Inggris (Saleh, 1984:19).
Memasuki tahun 1990-an, kebijakan pemerintah Orde Baru
mengenai Madrasah ditujukan secara penuh untuk membangun satu sistem pendidikan
nasional yang utuh. Oleh karena itu disusunlah UU No 2 Tahun 1989 Tentang
Sistem Pendidikan Nasional yang menggantikan UU No 4 Tahun 1950 jo No 12 Tahun
1954. Dalam konteks ini, penegasan secara sah tentang Madrasah diberikan
melalui keputusan yang lebih operasional dan dimasukkan dalam kelompok
pendidikan umum, tanpa menghilangkan karakter dan nuansa keagamaanya. Melalui
upaya ini madrasah menjadi lebih berkembang secara terpadu dalam konteks sistem
pendidikan nasional.
Setelah terbitnya SKB Tiga Menteri tahun 1975, usaha
pengembangan madrasah dalam upaya meningkatkan mutu lulusannya ditindak lanjuti
dengan menerbitkan SKB Dua Menteri yang baru Tahun 1984, antara Menteri Agama
dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 299/U/1984 yang menyangkut
pembakuan kurikulum sekolah umum dan kurikulum madrasah yang isinya antara lain;adalah
mengizinkan kepada lulusan madrasah untuk melanjutkan ke sekolah umum yang
lebih tinggi (Zuhairini,2000:198). SKB Dua Menteri ini berlandaskan pada TAP
MPR No II/TAP/MPR/1983 tentang perlunya penyesuaian sistem pendidikan sejalan
dengan daya kebutuhan pembangunan di segala bidang, antara lain dilakukan
melalui perbaikan kurikulum sebagai salah satu diantara berbagai upaya
perbaikan penyelenggaraan pendidikan sekolah umum dan madrasah
(Zulfahmi,et.al,1999:15). Dalam SKB ini terjadi perubahan berupa perbaikan
penyempurnaan kurikulum sekolah umum dan madrasah. Perubahan tersebut tertuang
dalam Surat Keputusan Menteri Agama No 99 Tahun 1984 untuk tingkat Madrasah
Ibtidaiyah (MI), dan Surat Keputusan Menteri Agama No 100 Tahun 1984 untuk
tingkat Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan Surat Keputusan Menteri Agama No 101
Tahun 1984 untuk Tingkat Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN). (Nizar,
2007:365).
Ketiga SK Menteri Agama tersebut merupakan upaya untuk
memperbaiki kurikulum madrasah agar lebih efektif dan efisien dalam hal; (1)
mengorganisasikan program pengajaran (tingkat madrasah), (2) untuk membentuk
manusia yang memiliki Keimanan dan Ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta
keharmonisan sesama manusia dan dan lingkungannya; (3) mengefektifkan proses
belajar mengajar, dan (4) mengoptimalkan waktu belajar (Nizar, 2007:365)
Upaya pengaturan dan pembaruan Madrasah dikembangkan
dengan menyusun kurikulum sesuai konsensus yang ditetapkan. Khusus untuk
Madrasah Aliyah (MA)nwaktu belajar untuk setiap mata pelajaran berlangsung 45
menit dan memamkai sistem semester. Sementara itu, jenis program pendidikan
dalam kurikulum madrasah terdiri dari program inti dan program pilihan.
Pengembangan kedua kurikulum ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu; (A)
pendidikan agama, terdiri dari ; Al Qur’an dan hadist, aqidah akhlak, Fiqih,
sejarah Kebudayaan islam, dan bahasa Arab, dan (B) pendidikan dasar umum,
terdiri dari : PMP, Pendidikan Sejarah dan Perjuangan Bangsa (PSPB), Bahasa dan
Sastra Indonesia, Sejarah Nasional Indonesia, Pengetahuan Sosial, Sains,
Olahraga Kesehatan, Matematika, Pendidikan Seni, Pendidikan Keterampilan, dan
Bahasa Inggris (Berlaku untuk MTs dan MA), Ekonomi (untuk MA), Biologi (untuk
MA), Fisika (untuk MA), dan Kimia (untuk MA) (Nizar, 2007:366).
Kebijakan pemerintah dalam SKB Dua Menteri tahun 1984
menimbulkan dillema baru bagi madrasah, bahwa disatu sisi lain penguasaan
pengetahuan umum untuk madrasah meningkat secara kuantitas dan kualitas, tapi
disisi lain penguasaan peserta didik terhadap ilmu pengetahuan agama menjadi
“serba tanggung” , sehingga untuk mencetak ulama’ dari madrasah merupakan hal
yang meragukan. Oleh karena itu, melalui Keputusan Menteri Agama No 73 Tahun
1987 didirikanlah Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) yang bertujuan untuk
mengembangkan dan pendalaman-pendalaman ilmu keagamaan dengan tidak
mengesampingkan ilmu umum sebagai usaha pengembangan wawasan keilmuan(Ashrohah,
1999:199)
3. Pendidikan Non
Formal di Indonesia
Dalam
Undang-Undang No.20 Tahun 2003 dijelaskan tentang pendidikan nonformal, pasal
26 ayat 3: yang berbunyi, satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga
kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar,
pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majlis taklim, serta satuan pendidikan
sejenis[23].
Pendidikan
nonformal dalam pendidikan Islam akan memberikan kontribusi yang sangat
berarti, karena menyiapkan peserta didik untuk menguasai ilmu keislamam dan
memiliki tingkat pengalaman yang baik dan sempurna dalam kehidupan sehari-hari.
Keinginan masyarakat Islam dalam mengembangkan dan melaksanakan pendidikan
keagamaan Islam dapat dilihat banyaknya lembaga pendidikan Islam yang tumbuh,
karena terinspirasi dari al-Quran dan Hadis Nabi Muhammad SAW., untuk selalu
meningkatkan keimanan dan ilmu pengetahuan.
Pendidikan Islam atau pendidikan Islam nonformal sangat
mudah dilaksanakan.Misalnya dalam bentuk lembaga kursus, kursus membaca dan
menafsirkan Al-Qur’an, bisa dalam bentuk pelatihan (pesantren kilat, kelompok
belajar) dan pusat kegiatan belajar masyarakat.
1. Lembaga
Pendidikan Surau
Kata
surau bermula dari istilah Melayu-Indonesia dan penggunaannya meluas sampai di
Asia Tenggara. Sebutan surau berasal dari Sumatera Barat tepatnya di
Minangkabau. Sebelum menjadi lembaga pendidikan Islam, istilah ini pernah
digunakan (warisan) sebagai tempat penyembahan agama HinduBudha[24]
Surau
dalam sejarah Minangkabau diperkirakan berdiri pada tahun 1356 M. yang dibangun
pada masa Raja Adityawarman di Kawasan bukit Gonbak. Sebagaimana diketahui
dalam lintasan sejarah Nusantara, bahwa pada masa ini adalah masa keemasan bagi
agama Hindu-Budha, maka secara tidak langsung dapat dipastikan bahwa eksistensi
dan esensi surau kala itu adalah sebagai tempat ritual bagi pemeluk agama
Hindu-Budha. Setelah keberadaan agama Hindu-Budha mulai surut dan pengaruh
selanjutnya digantikan Islam, surau akhirnya mengalami akulturasi budaya ke
dalam agama Islam. Setelah mengalami islamisasi, surau akhirnya menjadi pusat
kegiatan bagi pemeluk agama Islam dan sejak itu pula surau tidak dipandang lagi
sebagai sesuatu yang mistis atau sakral. Surau menjadi media aktivitas
pendidikan umat Islam dan tempat segala aktivitas social
Kedatangan
Islam ke Sumatera Barat telah memberikan pengaruh dan perubahan bagi
kelangsungan surau sebelumnya. Surau mulai terpengaruh dengan panji-panji
penyiaran agama Islam. Dengan waktu yang tidak lama, surau kemudian mengalami
islamisasi, walaupun dalam batas-batas tertentu masih menyisakan suasana
kesakralan dan merefleksikan sebagai simbol adat Minangkabau.
Proses islamisasi surau begitu cepat dengan
ditandai beberapa aktivitas keagamaan. Meski tidak harus merubah label namanya,
kaum muslim dapat menerima (mempertahankan) tanpa mempertanyakan keberadaan
asal- usulnya. Karena yang lebih penting masa itu adalah adanya sarana yang
efektif untuk melakukan menyiarkan agama Islam. Nama atau label bukanlah hal
yang prinsip, dan yang lebih esensi adalah semangat dalam menciptakan suasana
dan aktivitas di kalangan umat Islam dalam memperkokoh keimanan dan Keislamannya. Nilai-nilai semangat inilah yang dipegangi umat Islam hingga surau
dikenal khalayak luas sepanjang sejarah.
Fungsi
surau tidak berubah setelah kedatangan Islam, hanya saja fungsi keagamaannya
semakin penting yang diperkenalkan pertama kali oleh syekh Burhanuddin di
Ulakan, Pariaman. Pada masa ini, eksistensi surau disamping sebagai tempat
shalat, juga sebagai tempat mengajarkan ajaran Islam, khususnya tarekat (suluk)[25]
Secara
bertahap, eksistensi surau sebagai lembaga pendidikan Islam mengalami kemajuan.
Ada dua jenjang pendidikan surau pada era ini, yaitu:
a. Pengajaran
Al-Quran. Untuk mempelajari Al-Quran ada dua tingkatan;
1. Pendidikan
Rendah, yaitu pendidikan untuk memahami ejaan huruf Al-Quran. Di samping itu,
juga dipelajari cara berwudhu dan tata cara shalat yang dilakukan dengan metode
praktik dan menghafal, keimanan terutama yang berhubungan dengan sifat dua
puluh yang dipelajari dengan menggunakan metode menghafal melalui lagu, dan akhlak
yang dilakukan dengan cerita tentang nabi dan orang-orang shaleh lainnya.
2. Pendidikan
Atas, yaitu pendidikan membaca Al-Quran dengan lagu, kasidah, berjanji, tajwid,
dan kitab perukunan.
Lama
pendidikan di kedua jenis pendidikan tersebut tidak ditentukan. Seorang siswa
baru dikatakan tamat bila ia telah mampu menguasai materimateri di atas dengan
baik. Bahkan adakalanya seorang siswa yang telah menamatkan mempelajari
Al-Quran dua atau tiga kali baru berenti dari pengajaran Al-Quran.
b. Pengajian Kitab
Materi
pendidikan pada jenjang ini meliputi; ilmu sharaf dan nahwu, ilmu fiqih, ilmu
tafsir, dan ilmu-ilmu lainnya. Cara mengajarkannya adalah dengan membaca sebuah
kitab Arab dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu. Setelah itu baru
diterangkan maksudnya. Penekanan pada jenjang ini adalah pada aspek hafalan.
Agar siswa cepat hafal, maka metode pengajarannya dilakukan melalui cara
menghafalkan materi dengan lagu-lagu tertentu. Pelaksanaan pada jenjang ini
biasanya dilakukan pada siang hari[26]
Metode
pendidikan di surau bila dibandingkan dengan metode pendidikan modern,
sesungguhnya metode pendidikan di surau memiliki kelebihan dan kelemahannya.
Kelebihannya terletak pada kemampuan menghafal muatan teoritis keilmuan.
Sedangkan kelemahannya terdapat pada lemahnya kemampuan memahami dan
menganalisis teks. Di sisi lain, metode pendidikan ini diterapkan secara
keliru. Siswa banyak yang bisa membaca dan menghalaf suatu kitab, akan tetapi
tidak bisa menulis apa yang dibaca dan dihafalnya itu[27]
2. Lembaga Pendidikan Meunasah
Dalam perkembangan lebih lanjut, Meunasah bukan hanya
berfungsi sebagai tempat ibadah saja, melainkan juga sebagai tempat pendidikan,
tempat pertemuan, bahkan juga sebagai tempat transaksi jual beli, terutama
barangbarang yang bergerak. Yang belajar di meunasah umumnya anak laki-laki
yang umumnya di bawah umur. Sedangkan
untuk anak perempuan pendidikan diberikan di rumah guru[28].
Pendidikan
meunasah ini dipimpin oleh Teungku meunasah. Pendidikan untuk anak perempuan
diberikan oleh teungku perempuan yang disebut teungku Inong. Dalam memberikan
pendidikan kepada anak-anak, teungku meunasah dibantu oleh beberapa miridnya
yang lebih cerdas yang disebut sida[29]
Belajar
di meunasah tidak dipungut bayaran, dengan demikian para teungku tidak diberi
gaji, karena mengajar dianggap ibadah. Namun, biasanya tengku mendapatkan
hadiah dari murid-muridnya apabila mereka telah belajar Al-Quran sampai juz
ke-15 atau pada saat khatam Al-Quran. Hadiah-hadiah lain juga diperoleh pada
waktu upacara-upacara akad nikah, sunat, pembagian harta warisan, perkara
perdata, mengakhiri sidang-sidang pengadilan, pemberian nasihat-nasihat, dan
juga zakat.
Keberadaan meunasah sebagai lembaga pendidikan tingkat
dasar sangat mempunyai arti di Aceh. Semua orang tua memasukkan anaknya ke
meunasah.
Dengan kata lain, meunasah merupakan madrasah wajib
belajar bagi masyarakat Aceh masa lalu. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila Aceh mempunyai
fanatisme agama yang tinggi.
3. Lembaga
Pendidikan TPA
Uraian
pendidikan nonformal dalam perspektif pendidikan keagamaan Islam ditemukan
dalam Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan
Pendidikan Keagamaan pada pasal 21 ayat 1 yang berbunyi “pendidikan diniyah
nonformal diselenggarakan dalam bentuk pengajian kitab, Majelis Taklim,
Pendidikan Al Qur’an, Diniyah Takmiliyah, atau bentuk lain yang sejenis”.[30]
Dari salah satu
pendidikan diniyah nonformal terdapat pendidikan Al-Qur’an yang menjadi kepala
dari Taman Pendidikan Al-qur’an (TPA). Seperti yang tertulis dalam Peraturan
Pemerintah No.55 Tahun 2007 pada pasal 24 ayat 1 s/d 6, ayat-ayat tersebut
berbunyi sebagai berikut:
1. Pendidikan Al-qur’an bertujuan meningkatkan
kemampuan peserta didik membaca, menulis, memahami, dan mengamalkan kandungan
Al-qur’an.
2. Pendidikan Al-qur’an terdiri dari Taman
Kanak-kanak Alqur’an (TKQ), Taman Pendidikan Al-qur’an (TPQ), Ta’limul Qur’an
lil Aulad (TQA), dan bentuk lain yang sejenis.
3. Pendidikan
Al-qur’an dapat dilaksanakan secara berjenjang dan tidak berjenjang.
4. Penyelenggaraan
pendidikan Al-qur’an dipusatkan di masjid, mushalla, atau tempat lain yang
memenuhi syarat.
5. Kurikulum
pendidikan Al-qur’an adalah membaca, menulis dan menghafal ayat-ayat Al-qur’an,
tajwid, serta menghafal doa-doa utama.
Taman pendidikan al-Qur’an merupakan
pengajian anak-anak dalam bentuk baru dengan metode praktis di bidang
pengajaran membaca al-Qur’an yang di kelola secara professional.
Materi pendidikan luar sekolah
disusun sedemikian rupa dengan berusaha memenuhi aspirasi yang hidup dalam
masyarakat. Seperti dalam Peraturan Pemerintah No.55 tahun 2007 tentang
Pendidikan Diniyah Nonformal pasal 24 ayat 5; kurikulum pendidikan Al-qur’an
adalah membaca, menulis dan menghafal ayat-ayat Al-qur’an, tajwid, serta
menghafal doa-doa utama.
Taman Pendidikan Al-qur’an mempunyai pengaruh
besar terhadap pendidikan keagamaan anak dalam upaya memberikan pembekalan
dasar dan motivasi belajar anak untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang
lebih tinggi guna meraih prestasi dan mewujudkan cita-cita, juga harapan orang
tua, agama dan bangsa.
4. Kajian Muatan
Nilai-nilai Islam di Lembaga Pendidikan Indonesia (dibawah naungan Kemendiknas
dan kemenag)
Nilai-nilai
dasar mencerminkan totalitas sebuah sistem. Dalam
Encyclopedia Britanica disebutkan "valm is a determination or quality
ofohject wch lnvolves any sort or appreciation or interest" (nilai
adalah sesuatu yang menentukan atau suatu kuaHtas obyek yang meUbatkan suatu
jenis atau apresiasi atau minat)[31]. Menurut Milton dan James B ank, nilai adalah
suatu tipe kepercayaan yang berada dalam ruang Hngkup sistem kepercayaan, dalam
mana seseorang harus bertindak atau menghindari suatu tindakan, atau mengenai
sesuatu yang pantas atau tidak pantas dikerjakan, dimilikj atau dipercayai.[32] Dengan demikian, nilai merupakan preferensi yang tercermin dari
prilaku seseorang, sehingga ia melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Dalam
kaitan ini, nilai adalah konsep, sikap dan keyakinan seseorang terhadap sesuatu
yang dipandang berharga olehnya.
Ketika
nilai telah dilekatkan pada sebuah sistem, maka ia akan mencerminkan paradigma,
jati diri dan grand concept dari sistem tersebut Oleh karcna itu, nilai-nilai
dasar pendidikan Islam bermakna konsep-konsep pendidikan yang dibangun
berdasafkan ajaran Islam sebagai landasan etis, moral dan operasional
pendidikan. Dalam konteks ini, nilai-nilai dasar pendidikan Islam menjadi
pembeda dari model pendidikan lain, sekaligus
menunjukkan karakteristik khusus.
Akan
tetapi perlu ditegaskan, sebutan Islam pada pendidikan Islam tidak cukup
dipahami sebatas "ciri khas". Ia berimplikasi
sangat luas pada seluruh aspek menyangkut pendidikan Islam, sehingga akan
melahirkan pribadi-pribadi Islami yang mampu mengemban misi yang diberikan oleh
Allah,
yakni sebagai Khalifah dan 'abid.' Ali'
Ashraf menyebutnya, “The ultimate aim
of muslim
education lies in the realization of complete
submission to Allah on the level of the individual, the community and humanity
at large” (tujuan tertinggi dari pendidikan Islam adalah mereaHsasikan
kepasrahan penuh pada Allah pada tingkat
individual, komunitas dan umat).
Dengan
demikian, pendidikan yang dijaIankan atas niki dasar Islam mempunyai dua
orientasi. Pertama, Ketuhanan, yaitu penanaman rasa takwa dan pasrah kepada Allah
sebagai Pencipta yang tercermin
dari kesalehan ritual atau nilai sebagai hatnba Allah. Kedua,
Kemanusiaan,
menyangkut tata hubungan dengan sesama manusia, lingkungan
dan makhluk hidup yang lain yang berkaitan dengan status manusia sebagai Khalifatullahfi al ardh.
Nilai-nilai
dasar mencerminkan totalitas sebuah sistem. Dalam Encyclopedia Britanica
disebutkan "Value is a determintaian or quality of object wich involves any sorl or appndation or interest" (nilai adalah sesuatu yang menentukan atau suatu kuaUtas obyek
yang melibatkan
suatu jenis atau apresiasi atau minat.[33]
Menurut Milton danJames Bank, nilai adalah suatu tipe
kepercayaan yang berada dalam ruang lingkup sistem kepercayaan, dalam mana
seseorang harus bertindak atau menghindari suatu tindakan, atau mengenai
sesuatu yang pantas atau tidak pantas dikerjakan, dimliiki atau dipercayai. [34] Dengan demikian, nilai merupakan preferensi yang tercermin dari
prilaku seseorang, sehingga ia melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Secara
cpistemologis, pendidikan Islam diletakkan pada dasar-dasar ajaran Islam dan
seluruh perangkat kebudayaannya. Dasar-dasar pembcntukan dan pengembangan pendidikan
Islam yang pertama dan utama tcntu saja adalah A1- Qur'an dan Sunnah. Mcnetapkan
Al-Qur'an sebagai landasan epistemologis nilai-nilai dasar pendidikan Islam
bukan hanya dipandang sebagai kebenaran yang didasarkan pada keimanan semata.
Akan tetapi, justru karena kebenaran yang terdapat dalam kcdua dasar tersebut
dapat diterima oleh nalar manusia dan dapat dibuktikan dalam sejarah atau
pengalaman kcmanusiaan. Sebagai pedoman, Al-Qur'an tidak ada keraguan padanya
(QS. Al-Baqarah : 2). Ia tetap terpelihara
kesucian dan kebenarannya (QS. Ar-Ra'du : 9), baik dalam pembinaan aspek sosial
budaya dan pendidikan.
Demikian
juga dengan kebenaran Sunnah sebagai dasar kedua bagi pendidikan Islam. Secara
umum Sunnah dipahami sebagai segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW,
baik berupa perbuatan, pcrkataan dan ketetapannya. Kepribadian Rasul scbagai
uswatun hasanatun (QS.Al-Ahzab : 21) dan priIakunya senantiasa terpeUhara dan
dikontrol oleh Allah (QS.An-Najm : 3-4) adalah jaminan AUah bahwa mencontoh
Nabi dalam segala hal adalah suatu keharusan.
Landasan
epistemologis scperti dikemukakan di atas, selanjutnya di-break down
menjadi nilai-nilai dasar pendidikan Isiam sekaligus
pelaksanaannya. Dalam konteks ini, ada beberapa nilai dasar yang dapat
dimunculkan, antara lain:
1.
Keimanan dan ketaqwaan
Aktivitas
scorang mushm di bidang apapun, menurut konsep Islam harus didedikasikan untuk
meningkatkan kualitas iman dan
taqwa. Sebab, itulah ultimate purpose kehidupan
manusia (Qs Ali Imron:102)
Oleh karena itu, nilai dasar pendidikan Islam adalah kcimanan dan ketaqwaan.
Artinya, pendidikan Islam harus dapat menjadi wahana bagi peningkatan iman dan
taqwa anak didik.
Berdasarkan
niIai dasar ini, proses pendidikan Islam dijalankan berdasarkan semangat ibadah
kepada Allah SWT (QS.Adz-Dzariyat : 56). Ibadah dalam ajaran Islam memiriki
korelasi positif bagi pemeHharaan dan peningkatan iman dan taqwa. Setiap
penganut Islam diwajibkan mencari ilmu pengetahuan untuk dipahami secara
mendalam yang dalam taraf selanjutnya dikembangkan dalam kerangka ibadah guna
kemaslahatan ummat manusia.
Dakm prakteknya, nilai ini juga incsti dijadikaii
laiidasan olch para pendidik dalam menjalankan tugasnya. Implikasi positifnya,
sekalipun para guru memiliki hak-hak tertentu sebagai konsekwensi langsung dari
posisinya sebagai guru, pada saat yang sama harus tetap diingat bahwa tugas
mengajar adalah suatu kewajiban agama yang harus tetap dilakukan dalam rangka
ibadah. Di dalam kontcks ini, kejujuran, tanggung jawab, sikap tawadlu' dan
sebagainya merupakan prinsip-prinsip yang perlu dipegangi oleh para praktisi
pendidikan Islam.
2.
Penghargaan terhadap eksistensi manusia dengan segala potensinya.
Manusia adalah makhluk Tuhan yang diciptakan dengan
sebaikbaiknya (QS.At-Tin : 4) dan rupa yang scindah-indahnya (QS.At-Taghabun:
3) dilengkapi dengan berbagai organ psiko-fisik yang istimewa seperti
panca indera dan hati (QS.An-NahI : 78) agar manusia bersyukur kepada AUah yang
telah memberikan anugerah keistimewaan-keistimewaan tersebut.
Secara lebih iinci keistimewaan-keistimewaan manusia
antara lain adalah kemampuan berfikir untuk memahami akm semesta (QS.Ar-Ra'du :
3) dan dirinya sendiri (QS.At-Rum:20-21), akaI untuk memahami tanda-tanda
kekuasaan-Nya (QS.Al-Hajj:46) dan kalbu untuk mendapatkan "cahaya"
tertinggi (QS. Al-Fajt : 27-30).
Dalam kaitan ini, dipahami bahwa posisi manusia sebagai
khahfah dan hamba, menghendaki ptogram pendidikan yang menawatkan sepenuhnya
penguasaan dmu pengetahuan secara totaktas. Di samping itu, keberadaan manusia
yang terdiri dari dua unsur (materi dan tmmateri/jiwa dan raga) menghendaki
pula program pendidikan yang mengacu kepada konsep equlibrium, yaitu
integrasi yang uruh antara pendidikan aqliyah dan qalbiyah. Agar pendidikan Islam berhasil dalam prosesnya, maka konsep manusia
dan fungsi penciptaannya dalam alam semesta harus diakomodasikan secara integral
dalam konsep maupun teori pendidikan melalui pendekatan kewahyuan, empirik
keilmuan dan rasional filosofis. Dalam hal ini, harus pula dipahami bahwa
pendekatan keilmuan dan filosofis hanya merupakan media untuk menalar
pesan-pesan Tuhan yang absolut, baik melalui ayat-ayat-Nya yang bersifat
tekstual (Qur'anijyah)
maupun melalui ayat-ayat-Nya secara kontekstual (Kauniyyah).
3.
Mengedepankan prinsip kebebasan dan kemerdekaan.
Ditilik
dari sejarah kelahiran Istam, nuansa pembebasan yang terkandung datam ajaran
Islam begitu terasa. Islam datang bukan untuk melegitimasi status quo,
sebariknya ia lahir dalam konteks sosio-politik-budaya
Mekkah yang pincang untuk merubahnya menjadi tatanan yang tidak eksploitatif,
adil dan egaliter serta membebaskan umat manusia dari segala bentuk penindasan.
Pendidikan
secara umum dapat dipahami sebagai proses pendewasaan sosial manusia menuju
pada tataran ideal. Dengan kata lain, pendidikan adalah proses memanusiakan
manusia..
Penghargaan
terhadap kebebasan berkembang dan berpikir maju tentu saja sangat besar,
mengingat manusia merupakan mahluk yang berpikir dan memiliki
kesadaran. Praktek pendidikan pun harus senantiasa mengacu pada eksistensi
manusia itu sendiri. Dari situ akan terbentuk suatu mekanisme pendidikan yang
demokratis dan berorientasi pada memanusiakan manusia. Dengan demikian,
pendidikan bukanlah merupakan pengalihan
pengetahuan (Transfer of Knowledge)
semata, melainkan membantu peserta didik agar mampu mengembangkan potensinya.
5. Fenomena
setelah terbitnya Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri Tahun 1975
Pasca kemerdekaan dibentuklah
departemen agama pada 3 Januari 1946
yang akan mengurus masalah keberagamaan di Indonesia, termasuk didalamnya
pendidikan, khususnya madrasah. Namun pada perkembangan selanjutnya,
madrasah walaupun sudah berada di bawah naungan Departemen Agama tetapi
hanya sebatas pembinaan dan pengawasan. Hal ini berjalan sampai berakhirnya
Orde Lama. Bahkan pada awal-awal masa pemerintahan Orde baru, kebijakan
tentang madrasah bersifat melanjutkan dan meningkatkan kebijakan orde lama.
Pada tahap ini madrasah belum dipandang sebagai bagian dari sitem pendidikan
nasional, tetapi baru bersifat lembaga pendidikan otonom di bawah pengawasan
menteri Agama. Hal ini disebabkan pendidikan madrasah belum didominasi oleh
muatan-muatan agama, menggunakan kurikulum yang belum terstandar, memiliki
struktur yang tidak seragam, dan kurang terpantaunya manajemen madrasah oleh
pemerintah.
yang akan mengurus masalah keberagamaan di Indonesia, termasuk didalamnya
pendidikan, khususnya madrasah. Namun pada perkembangan selanjutnya,
madrasah walaupun sudah berada di bawah naungan Departemen Agama tetapi
hanya sebatas pembinaan dan pengawasan. Hal ini berjalan sampai berakhirnya
Orde Lama. Bahkan pada awal-awal masa pemerintahan Orde baru, kebijakan
tentang madrasah bersifat melanjutkan dan meningkatkan kebijakan orde lama.
Pada tahap ini madrasah belum dipandang sebagai bagian dari sitem pendidikan
nasional, tetapi baru bersifat lembaga pendidikan otonom di bawah pengawasan
menteri Agama. Hal ini disebabkan pendidikan madrasah belum didominasi oleh
muatan-muatan agama, menggunakan kurikulum yang belum terstandar, memiliki
struktur yang tidak seragam, dan kurang terpantaunya manajemen madrasah oleh
pemerintah.
Menghadapi kenyataan tersebut langkah
pertama dalam melakukan pembaruan
adalah dikeluarkannya kebijakan Menteri Agama dengan melakukan formalisasi
dan strukturisasi madrasah.[35] Salah
satunya seperti tercantum pada
Pasal 1 TAP MPRS No. XXVII tahun 1966 menetapkan pendidikan agama
menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah mulai dari sekolah dasar sampai ke
universitas-universitas negeri[36]. Hal ini menunjukkan bahwa upaya melakukan
formalisasi dan strukturisasi madrasah merupakan agenda awal pemerintah pada
masa Orde Baru.
Pasal 1 TAP MPRS No. XXVII tahun 1966 menetapkan pendidikan agama
menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah mulai dari sekolah dasar sampai ke
universitas-universitas negeri[36]. Hal ini menunjukkan bahwa upaya melakukan
formalisasi dan strukturisasi madrasah merupakan agenda awal pemerintah pada
masa Orde Baru.
Dalam dekade 1970-an madrasah terus
dikembangkan untuk memperkuat
keberadaannya, namun di awal-awal tahun 1970-an, justru kebijakan pemerintah
terkesan berupaya untuk mengisolasi madrasah dari bagian sistem pendidikan
nasional. Hal ini terlihat dengan langkah yang ditempuh pemerintah dengan
mengeluarkan suatu kebijakan berupa Keputusan Presiden Nomor 34 tahun 1972
tentang "Tanggung Jawab Fungsional Pendidikan dan Latihan". Selanjutnya
Keppres ini dipertegas oleh Inpres No 15 tahun 1974 yang mengatur
operasionalnya. Dengan Keppres dan Inpres ini, penyelenggaraan pendidikan
umum dan kejuruan sepenuhnya berada di bawah tanggung jawab Mendikbud.
Secara implisit ketentuan ini mengharuskan diserahkannya penyelengaraan
pendidikan madrasah yang sudah menggunakan kurikulum nasional kepada
Depdikbud.[37]
keberadaannya, namun di awal-awal tahun 1970-an, justru kebijakan pemerintah
terkesan berupaya untuk mengisolasi madrasah dari bagian sistem pendidikan
nasional. Hal ini terlihat dengan langkah yang ditempuh pemerintah dengan
mengeluarkan suatu kebijakan berupa Keputusan Presiden Nomor 34 tahun 1972
tentang "Tanggung Jawab Fungsional Pendidikan dan Latihan". Selanjutnya
Keppres ini dipertegas oleh Inpres No 15 tahun 1974 yang mengatur
operasionalnya. Dengan Keppres dan Inpres ini, penyelenggaraan pendidikan
umum dan kejuruan sepenuhnya berada di bawah tanggung jawab Mendikbud.
Secara implisit ketentuan ini mengharuskan diserahkannya penyelengaraan
pendidikan madrasah yang sudah menggunakan kurikulum nasional kepada
Depdikbud.[37]
Kebijakan yang dinilai tidak
menguntungkan umat Islam ini menimbulkan
respons dan kegelisahan tokoh-tokoh Islam dan organisasi-organisasi yang
bergerak di bidang pendidikan, karena kebijakan ini akan menghilangkan
wewenang Menteri Agama di bidang pendidikan. Respons itu ditunjukan antara
lain oleh MP3A[38] yang berpendapat bahwa yang paling tepat untuk diserahi
tanggungjawab dalam penyelenggaran pendidikan madrasah adalah Depag, sebab
Menteri Agamalah yang lebih tahu konstelasi pendidikan Islam, bukan
Mendikbud atau menteri-menteri yang lain.
respons dan kegelisahan tokoh-tokoh Islam dan organisasi-organisasi yang
bergerak di bidang pendidikan, karena kebijakan ini akan menghilangkan
wewenang Menteri Agama di bidang pendidikan. Respons itu ditunjukan antara
lain oleh MP3A[38] yang berpendapat bahwa yang paling tepat untuk diserahi
tanggungjawab dalam penyelenggaran pendidikan madrasah adalah Depag, sebab
Menteri Agamalah yang lebih tahu konstelasi pendidikan Islam, bukan
Mendikbud atau menteri-menteri yang lain.
Melihat aspirasi umat Islam yang
keberatan atas kebijakan yang
dikeluarkan pemerintah, maka pemerintah pun secara aktif menyikapi tuntutan
umat Islam tersebut, sehingga pada tanggal 26 November 1974 diadakan sidang
kabinet terbatas yang salah satu hasilnya adalah kesepakatan yang dikeluarkan
oleh tiga menteri (Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan
Menteri Dalam Negeri) yang dikenal dengan "SKB 3 Menteri" tahun 1975 tentang
"Peningkatan Mutu Pendidikan Madrasah".
dikeluarkan pemerintah, maka pemerintah pun secara aktif menyikapi tuntutan
umat Islam tersebut, sehingga pada tanggal 26 November 1974 diadakan sidang
kabinet terbatas yang salah satu hasilnya adalah kesepakatan yang dikeluarkan
oleh tiga menteri (Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan
Menteri Dalam Negeri) yang dikenal dengan "SKB 3 Menteri" tahun 1975 tentang
"Peningkatan Mutu Pendidikan Madrasah".
Melihat fenomena lahirnya SKB 3 Menteri
diatas sesungguhnya menarik
untuk dikaji bahwa kebijakan yang berupa SKB ini merupakan "keputusan
politik" atau "solusi politik" pemerintah dalam menyikapi penyelenggaran
pendidikan madrasah. Terlepas bahwa SKB 3 Menteri ini dapat juga dianggap
sebagai tonggak sejarah modernisasi madrasah. Dengan lahirnya SKB ini pula
dikotomi dua macam pendidikan agama dan umum melahirkan dualisme
pendidikan di Indonesia semakin kuat.
untuk dikaji bahwa kebijakan yang berupa SKB ini merupakan "keputusan
politik" atau "solusi politik" pemerintah dalam menyikapi penyelenggaran
pendidikan madrasah. Terlepas bahwa SKB 3 Menteri ini dapat juga dianggap
sebagai tonggak sejarah modernisasi madrasah. Dengan lahirnya SKB ini pula
dikotomi dua macam pendidikan agama dan umum melahirkan dualisme
pendidikan di Indonesia semakin kuat.
SKB ini dapat dipandang sebagai model
solusi yang disatu sisi memberikan
pengakuan eksistensi madrasah, dan di sisi lain memberikan kepastian
akan berlanjutnya usaha yang mengarah pada pembentukan system pendidikan
nasional yang integrative.
Akan tetapi melihat sejarah kelahiran SKB ini
dan mencermati isinya nampak terlihat ada sebuah solusi politik yang mana hal
itu bisa di baca pada konsiderans butir b yang berbunyi bahwa dipandang perlu
mempertimbangkan penerbitan Keputusan
Bersama Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
serta Menteri Dalam Negeri tentang Peningkatan Mutu Pendidikan pada
Madrasah, sebagai pelaksanaan dari Keputusan presiden No 34 tahun 1972 dan
Instruksi Presiden No 15 tahun 1974. Dalam kenyataannya, isi SKB tidak sepenuhnya
sejiwa dengan sebagian isi Keppres. Dalam SKB dinyatakan bahwa pengelolaan madrasah tetap menjadi tanggung jawab dan wewenang Menteri Agama, yang
tadinya dalam Keppres kewenangan pengelolaan terhadap pembinaan pendidikan
termasuk pendidikan madrasah dialihkan kepada Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan. Selain itu dari perspektif pembaruan pendidikan
Islam (madrasah dan pesantren) ide dan gagasan-gagasan SKB 3 Menteri pada
dasarnya merupakan kelanjutan dari gagasan-gagasan yang sama yang muncul
sebelumnya seperti yang pernah dilakukan oleh Menteri Agama KH Moh Ilyas
(1953-1959) yang memasukkan tujuh mata pelajaran umum[39] dalam kurikulum,
dan konsep pengembangan madrasah wajib belajar (MWB) tahun 1958/1959.
Islam (madrasah dan pesantren) ide dan gagasan-gagasan SKB 3 Menteri pada
dasarnya merupakan kelanjutan dari gagasan-gagasan yang sama yang muncul
sebelumnya seperti yang pernah dilakukan oleh Menteri Agama KH Moh Ilyas
(1953-1959) yang memasukkan tujuh mata pelajaran umum[39] dalam kurikulum,
dan konsep pengembangan madrasah wajib belajar (MWB) tahun 1958/1959.
Di satu sisi SKB 3 Menteri itu
dipandang sebagai pengakuan yang lebih
nyata terhadap eksistensi madrsah dan
sekaligus merupakan langkah strategis
menuju tahapan integrasi madrasah dan Sistem Pendidikan Nasional yang tuntas.
Dengan SKB tersebut, madrasah memperoleh definisinya yang semakin jelas
sebagai lembaga pendidikan keagamaan yang menjadikan mata pelajaran agama
Islam sebagai mata pelajaran dasar yang sekurang kurangnya 30% disamping
mata pelajaran umum. Sejumlah diktum dari SKB 3 Menteri ini memang
memperkuat posisi madrasah lebih ditegaskan dengan memerinci bagian-bagian
yang menunjukkan kesetaraan madrasah dengan sekolah.
menuju tahapan integrasi madrasah dan Sistem Pendidikan Nasional yang tuntas.
Dengan SKB tersebut, madrasah memperoleh definisinya yang semakin jelas
sebagai lembaga pendidikan keagamaan yang menjadikan mata pelajaran agama
Islam sebagai mata pelajaran dasar yang sekurang kurangnya 30% disamping
mata pelajaran umum. Sejumlah diktum dari SKB 3 Menteri ini memang
memperkuat posisi madrasah lebih ditegaskan dengan memerinci bagian-bagian
yang menunjukkan kesetaraan madrasah dengan sekolah.
Memperhatikan uraian di atas memang nampaknya
SKB 3 Menteri memberikan beberapa keuntungan kepada madrasah, akan tetapi ada
konsekuensi yang harus dipenuhi oleh madrasah yang merupakan muatan atau
substansi madrasah, bahwa semua madrasah harus mengubah kurikulum dan jumlah
jam pelajarannya, tidak boleh kurang dari yang disediakan di sekolah umum.
Pada tahap awal setelah SKB, Depag
menyusun kurikulum 1976 yang diberlakukan
secara intensif mulai 1978. Kemudian kurikulum 1976 ini disempurnakan
lagi melalui kurikulum 1984 sebagaimana dinyatakan dalam SK Menteri
Agama No. 45 tahun 1987. Penyempurnaan ini sejalan dengan perubahan kurikulum
sekolah di lingkungan Depdikbud.[40]
SKB 3 Menteri dapat dipandang sebagai
tonggak integrasi madrasah ke
dalam sistem pendidikan nasional. Meskipun demikian, bukan berarti pelaksanaan
SKB 3 Menteri berlangsung tanpa hambatan. Sebagian kaum muslim khususnya kalangan ulama tradisional memandang bahwa SKB 3 Menteri telah membawa siswa madrasah serba tanggung, mereka tidak menguasai pengetahuan umum dengan baik, tidak juga menguasai pengertian agama dengan memadai. Hal ini menurut mereka, akan menyebabkan mandeknya kaderisasi ulama.
dalam sistem pendidikan nasional. Meskipun demikian, bukan berarti pelaksanaan
SKB 3 Menteri berlangsung tanpa hambatan. Sebagian kaum muslim khususnya kalangan ulama tradisional memandang bahwa SKB 3 Menteri telah membawa siswa madrasah serba tanggung, mereka tidak menguasai pengetahuan umum dengan baik, tidak juga menguasai pengertian agama dengan memadai. Hal ini menurut mereka, akan menyebabkan mandeknya kaderisasi ulama.
Menteri Agama (H.A. Mukti Ali) menyadari
implikasi yang akan timbul dari perubahan komposisi kurikulum mata pelajaran
agama dan umum 30%:70% itu terhadap penguasaan pengetahuan agama bagi peserta
didik di madrasah. Oleh karena itu beliau selalu mengatakan bahwa sebaik-baik
penyelenggaraan madrasah (pola SKB) berada dalam lingkungan pondok pesantren
yang kegiatan belajar mengajarnya berlangsung selama 24 jam. Dengan demikian, kurikulum madrasah
dapat di desain 100% untuk agama dan 100% untuk umum.[41]
Signifikansi SKB 3 Menteri ini bagi umat
Islam adalah, pertama,
terjadinya
mobilitas sosial dan vertikal siswa siswi madrasah yang selama ini terbatas di
lembaga-lembaga pendidikan tradisional (madrasah dan pesantren), kedua,
membuka peluang kemungkinan anak-anak santri memasuki wilayah pekerjaan
pada sektor modern.
mobilitas sosial dan vertikal siswa siswi madrasah yang selama ini terbatas di
lembaga-lembaga pendidikan tradisional (madrasah dan pesantren), kedua,
membuka peluang kemungkinan anak-anak santri memasuki wilayah pekerjaan
pada sektor modern.
Dengan diterbitkannya SKB 3 Menteri tahun
1975 yang bertujuan untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pendidikan
madrasah, dan diterapkannya kurikulum baru pada tahun 1976 sebagai
realisasi SKB 3 Menteri tersebut. SKB
3 Menteri itu telah memberikan nilai positif dengan menjadikan status
madrasah yang sejajar dengan sekolah-sekolah umum. Sisi positif lain dari SKB
3 Menteri telah mengakhiri reaksi keras umat Islam yang menilai pemerintah terlalu
jauh mengintervensi kependidikan Islam yang telah lama dipraktekkan umat
Islam. Dengan berlakunya SKB 3 Menteri, maka kedudukan Madrasah memang
telah sejajar dengan sekolah-sekolah umum. Dari segi organisasi,madrasah sama
dengan sekolah umum, dari segi jenjang pendidikan, MI, MTs, dan
MA sederajat dengan SD, SMP dan SMA.
Berdasar pada paparan diatas nampak
jelas bahwa ciri madrasah yang paling
menonjol sejak SKB 3 Menteri sampai 1987 adalah menyangkut pelaksanaan
sistem pendidikan dan pengajaran yang direalisasikan dengan perubahan
dan pengembangan kurikulum. Terlepas dari semua sisi positif sejumlah kebijakan yang dilakukan terhadap madrasah, akan
tetapi madrasah tetap dihadapkan pada berbagai masalah, diantaranya: di satu
sisi madrasah harus tetap mempertahankan mutu pendidikan agama yang menjadi
ciri khasnya akan tetapi di sisi lain madrasah di tuntut untuk mampu
menyelenggarakan pendidikan umum secara baik dan berkualitas supaya sejajar
dengan sekolah-sekolah umum.
Kegagalan madrasah dalam memikul beban tersebut hanya akan memperkuat anggapan orang bahwa madrasah adalah semacam “sekolah serba tanggung”. Masalah lain karena lahirnya SKB 3 Menteri tersebut belum diimbangi dengan penyediaan guru, sarana dan prasarana, buku-buku dan peralatan lain dari departemen terkait. Begitu juga beban kurikulum madrasah yang menerapkan kurikulum sekolah 100% ditambah dengan kurikulum agama sebagai ciri khas telah berakibat beban belajar siswa madrasah menjadi lebih berat dan lebih banyak disbanding dengan beban belajar anak sekolah umum.
Meskipun demikian SKB 3 Menteri boleh dikatakan berhasil memodernisasi madrasah. Kesuksesan SKB 3 Menteri, mendorong pemerintah untuk terus memodernisasikan madrasah. Langkah yang ditempuh adalah dengan meningkatkan kualitas guru, mutu kurikulum dan pada akhirnya pada tahun 1993-1994 madrasah mulai menyelenggarakan EBTANAS sebagaimana sekolahsekolah umum.
Kegagalan madrasah dalam memikul beban tersebut hanya akan memperkuat anggapan orang bahwa madrasah adalah semacam “sekolah serba tanggung”. Masalah lain karena lahirnya SKB 3 Menteri tersebut belum diimbangi dengan penyediaan guru, sarana dan prasarana, buku-buku dan peralatan lain dari departemen terkait. Begitu juga beban kurikulum madrasah yang menerapkan kurikulum sekolah 100% ditambah dengan kurikulum agama sebagai ciri khas telah berakibat beban belajar siswa madrasah menjadi lebih berat dan lebih banyak disbanding dengan beban belajar anak sekolah umum.
Meskipun demikian SKB 3 Menteri boleh dikatakan berhasil memodernisasi madrasah. Kesuksesan SKB 3 Menteri, mendorong pemerintah untuk terus memodernisasikan madrasah. Langkah yang ditempuh adalah dengan meningkatkan kualitas guru, mutu kurikulum dan pada akhirnya pada tahun 1993-1994 madrasah mulai menyelenggarakan EBTANAS sebagaimana sekolahsekolah umum.
BAB III
Penutup
Kesimpulan
Pondok
Pesantren dalam tinjauan historis pada mulanya merupakan lembaga pendidikan
penyiaran agama Islam konon tertua di Indonesia. Sejalan dengan dinamika
kehidupan masyarakat, fungsi itu telah berkembang menjadi semakin kaya dan
bervariasi, walaupun pada intinya tidak lepas dari fungsi semula. Berdirinya
suatu pesantren mempunyai latar belakang yang berbeda, yang pada intinya adalah
memenuhi kebutuhan masyarakat yang haus akan ilmu. Pada umumnya diawali karena
adanya pengakuan dari suatu masyarakat tentang sosok kyai yang memiliki
kedalaman ilmu dan keluhuran budi. Kemudian masyarakat belajar kepadanya baik
dari sekitar daerahnya, maupun luar daerah. Oleh karena itu mereka membangun
tempat tinggal disekitar tempat tinggal kyai.
Madrasah
adalah salah satu sarana atau media tempat yang strategis bagi kyai/ ustadz
dengan masyarakat dalam rangka menyampaikan aspek-aspek ajaran islam. Melalui
madrasah juga, para raja muslim, menyampaikan program kenegaraan dan keagaman
yang dianutnya.
Pendidikan nonformal dalam pendidikan Islam akan memberikan
kontribusi yang sangat berarti, karena menyiapkan peserta didik untuk menguasai
ilmu keislamam dan memiliki tingkat pengalaman yang baik dan sempurna dalam
kehidupan sehari-hari.
Nilai
– nilai Islami pada Lembaga Pendidikan di
Indonesia antara lain; Keimanan
dan ketaqwaan, penghargaan terhadap eksistensi manusia dengan segala potensinya, Mengedepankan
prinsip kebebasan dan kemerdekaan.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mukti dan M. Ali Hasan. Kapita Selekta Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2003.
Arif, Mahmud. Pendidikan Islam Transformatif. Yogyakarta: LKiS, 2008.
Asrohah, Hanun. 1999. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Assegaf, Abd. Rachman. Politik Pendidikan Nasional: Pergeseran Kebijakan Pendidikan Agama Islam dari Proproklamasi ke Reformasi. Yogyakarta:Kurnia Kalam, 2005.
Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 2000.
--------. Madrasah dan Tantangan Globalisasi: Perspektif Historis-Sosiologis Pendidikan Islam. Jakarta: yayasan Wakaf Paramadina. 2004
--------. Dan Saiful Umam (Ed), Menteri-menteri Agama RI: Biografi Sosial Politik. Jakarta: PPIM. 1997
Daulay, Haidar Putra. Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2004.
--------. Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia.Jakarta: Kencana, 2007.
Jabali, Fuad dan Jamhari. IAIN dan Modernisasi Islam di Indonesia. Jakarta:Logos Wacana Ilmu, 2002.
Khozin, Jejak-jejak Pendidikan Islam di Islam di Indonesia. Malang: UMM Presss, 2006.
Maksum. Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya. Pamulang Timur: Logos Wacana Ilmu. 1999.
Muhaimin. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Rajawali Pers. 2009.
Muliawan, Jasa Ungguh. Pendidikan Islam Integratif: Upaya MengintegrasikanKembali Dikotomi Ilmu an Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Mustafa, H.A dan Abdullah Aly. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia
Bandung: Pustaka Setia. 1998.
Nizar, Samsul. Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah PendidikanEra Rasulullah sampai Indonesia. Jakarta: Kencana, 2007.
Nurasa, "Pola dan Kebijakan Pendidikan Islam" dalam Samsul Nizar. Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah sampai Indonesia. Jakarta: Kencana, 2007.
Saridjo, Marwan. Bunga Rampai pendidikan Agama Islam. Jakarta: Amissco,1996.
--------. Pendidikan Islam dari Masa ke Masa: Tinjauan Kebijakan Publik terhadap Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Yayasan Ngali Aksara,2010.
Sholeh, Abdur Rachman. Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004
Suwendi. Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2004
.
[1] Samsul Nizar, Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam,
(Ciputat: Quantum Teaching, 2005), h. 279.
[2] Taqiyuddin, Sejarah Pendidikan, Melacak Geologi Pendidikan Islam di
indonesia, (Bandung: Mulia Press, 2008), H. 177-178.
[3] http://kabar-pendidikan.blogspot.com/2018/04/pondok-pesantren-dalam-tinjauan.html, diakses pada 10 Desember 2018
[4] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2010), H. 191.
[5] Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai Kasus Pondok Pesantren Tebuireng,
(Malang: Kalimasahada Press, 1995), h. 39.
[6] Ibid.
[7] Abuddin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga
Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Grasindo, 2001), h. 140
[8] Ibid., h. 118-119
[9] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Cet. VII;
Jakarta: Balai Pustaka, 1984), h. 889.
[10] Taqiyuddin, loc. Cit, . h. 167.
[11] Muhammad Daud Ali, lembaga-Lembaga Islam di Indonesia, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 1995), h. 49.
[12] Maksum, madrasah, Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta: Logos,
1999), h. 82.
[13] H.A. Mustafa dan Abdullah Aly, Sejaran Pendidikan Islam di
Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), h. 94.
[14] Samsul Nizar, Sejarah dan Pergolakan .....Loc. Cit., h. 292.
[15] Maksum, Loc. Cit., h. 132.
[16] H.A.R. Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, (Jakarta: Rineka
Cipta, 2000), h. 147.
[17] Abdurrahman Saleh, Pendidikan Agama dan Keagamaan, Visi, Misi, dan
Aksi, (Jakarta: Gemawindu Pancaperkasa, 2000), h. 114.
[18] Taqiyuddin, Loc. Cit., h. 168.
[19] Ibid., h. 168-169.
[20] Daprtemen Agama RI, Sejarah Madrasah; pertumbuhan, dinamika dan
perkembangan di Indonesia, tahun 2004, h. 67
[21] Ary H. Gunawan, Kebijakan-Kebijakan Pendidikan
di Indonesia (Jakarta : Bina
Aksara, 1986), hlm. 32-33.
Aksara, 1986), hlm. 32-33.
[22] Steenbrink, Pesantren Sekolah dan Madrasah, hlm. 90-91 ;
Husni Rahim, Arah
Baru Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta : Logos, 2001), hlm. 52-53
Baru Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta : Logos, 2001), hlm. 52-53
[23] Direktorat Pendidikan Islam, Undang-Undang RI tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Jakarta: Departemen Agama, 2008) hal. 19
[24] Azyumardi Azra. Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju
Milenium Baru, (Jakarta: Logos, 2000), Hlm. 117-118
[25]Samsul Nizar, Sejarah dan Pergolakan .....Op. Cit. , h. 71
[26] Ibid
[27] Ibid., h. 73-74
[28] Samsul Nizar, Loc. Cit., Sejarah Pendidikan Islam: ..... h.
284-285.
[29] Ibid., h. 284-285.
[30] Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren, Peraturan
Pemerintah No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan,
(Jakarta: Departemen Agama RI, 2008) hal.23
[35] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era
Rasulullah sampai Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007), hal. 360; Lihat juga Mahmud Arif,
Pendidikan Islam Transformatif (Yogyakarta: LKis, 2008), hal. 205
Rasulullah sampai Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007), hal. 360; Lihat juga Mahmud Arif,
Pendidikan Islam Transformatif (Yogyakarta: LKis, 2008), hal. 205
[36] Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Sistem
Pendidikan Nasional di Indonesia
(Jakarta: Kencana, 2004), hal. 150
(Jakarta: Kencana, 2004), hal. 150
[38] Lihat Marwan Saridjo, Pendidikan Islam dari Masa ke
Masa: Tinjauan Kebijakan Publik
terhadap Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Ngali Aksara, 2010), hal. 111
terhadap Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Ngali Aksara, 2010), hal. 111
[40] M. Ali Hasan dan Mukti Ali, Kapita
Selekta Pendidikan Agama Islam. (Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya, 2003), hal. 59
Pedoman Ilmu Jaya, 2003), hal. 59
Komentar
Posting Komentar