Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia

BAB I
Pendahuluan
1.      Latar Belakang Masalah
Pendidikan Islam di Indonesia telah muncul dan berkembang dalam berbagai bentuk lembaga yang bervariasi, seperti pesantren, madrasah, surau, dan meunasah. Dalam perkembangannya, pendidikan Islam di Indonesia antara lain ditandai oleh munculnya berbagai lembaga pendidikan secara bertahap, mulai dari yang amat sederhana, sampai dengan tahap-tahap yang sudah terhitung modern dan lengkap. Lembaga pendidikan Islam telah memainkan perannya sesuai dengan tuntutan masyarakat dan zamannya. Perkembangan lembaga-lembaga pendidikan tersebut telah menarik perhatian para ahli baik dari dalam maupun luar negeri untuk melakukan studi ilmiah secara konferensif.
Kini sudah banyak sekali hasil karya penelitian para ahli yang menginformasikan tentang pertumbuhan dan perkembangan lembaga-lembaga pendidikan Islam tersebut. Tujuannya selain untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuan yang bernuansa keislaman, juga sebagai bahan rujukan dan perbandingan bagi para pengelola pendidikan Islam pada masa-masa berikutnya. Hal ini sejalan dengan prinsip yang umumnya dianut masyarakat Islam Indonesia, yaitu mempertahankan tradisi masa lampau yang masih baik dan mengambil tradisi baru yang baik lagi. Dengan cara demikian, upaya pengembangan lembaga pendidikan Islam tersebut tidak akan terserabut dari akar kulturnya secara radikal[1]
Pada awal perkembangan Islam di Indonesia, masjid merupakan satu-satunya pusat berbagai kegiatan. Baik kegiatan keagamaan, sosial kemasyarakatan, maupun kegiatan pendidikan. Bahkan kegiatan pendidikan yang berlangsung di masjid masih bersifat sederhana kala itu sangat dirasakan oleh masyarakat muslim. Maka tidak mengherankan apabila masyarakat dimasa itu menaruh 1 Samsul Nizar, Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam, (Ciputat: Quantum Teaching, 2005), h. 279. LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI NUSANTARA JURNAL TARBIYA Volume: 1 No: 1 - 2015 (195-219) 197 harapan besar kepada masjid sebagai tempat yang bisa membangun masyarakat muslim yang lebih baik. Awal mulanya masjid mampu menampung kegiatan pendidikan yang diperlukan masyarakat. Namun karena terbatasnya tempat dan ruang, mulai dirasakan tidak dapat menampung masyarakat yang ingin belajar. Maka dilakukanlah berbagai pengembangan secara bertahap hingga berdirinya lembaga pendidikan Islam yang secara khusus berfungsi sebagai sarana menampung kegiatan pembelajaran sesuai dengan tuntutan masyarakat saat itu. Dari sinilah mulai muncul beberapa istilah lembaga pendidikan di Indonesia
2.      Rumusan Masalah
1.      Bagaimana peran pendidikan Pesantren/Pesantren Terpadu di Indonesia
2.      Bagaimana peran Pendidikan Madrasah
3.      Bagaimana peran Pendidikan Non Formal di Indonesia
4.      Bagaimana kajian muatan nilai-nilai Islam dalam Lembaga Pendidikan di Indonesia (dibawah naungan Kemendiknas dan Kemenag)
3.      Tujuan Pembahasan
1.      Untuk mengetahui peran pendidikan Pesantren/Pesantren Terpadu di Indonesia
2.      Untuk mengetahui Peran Pendidikan Madasah
3.      Untuk mengetahui peran Pendidikan Non Formal lainnya di Indonesia
4.      Untuk mengetahui kajian muatan nilai-nilai Islam dalam Lembaga Pendidikan di Indonesia.



 

BAB II
Pembahasan

1.      Lembaga Pendidikan Pesantrean di Indonesia
Pondok pesantren merupakan kata majemuk yang terdiri dari kata pondok dan pesantren. Kedua kata ini memiliki makna yang berbeda. Pondok dalam bahasa Arab funduk yang berarti tempat singgah, sedangkan pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang dalam pelaksanaan pembelajarannya tidak dalam bentuk klasikal. Jadi, pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam nonklasikal yang peserta didiknya disediakan tempat singgah atau pemondokan[2]
Pondok Pesantren dalam tinjauan historis pada mulanya merupakan lembaga pendidikan penyiaran agama Islam konon tertua di Indonesia. Sejalan dengan dinamika kehidupan masyarakat, fungsi itu telah berkembang menjadi semakin kaya dan bervariasi, walaupun pada intinya tidak lepas dari fungsi semula. Berdirinya suatu pesantren mempunyai latar belakang yang berbeda, yang pada intinya adalah memenuhi kebutuhan masyarakat yang haus akan ilmu. Pada umumnya diawali karena adanya pengakuan dari suatu masyarakat tentang sosok kyai yang memiliki kedalaman ilmu dan keluhuran budi. Kemudian masyarakat belajar kepadanya baik dari sekitar daerahnya, maupun luar daerah. Oleh karena itu mereka membangun tempat tinggal disekitar tempat tinggal kyai.
Menurut Hasbullah, pesantren di Indonesia memang tumbuh dan berkembang pesat pada abad 19. Di Jawa terdapat tidak kurang 1.853 pesantren, dengan jumlah santri tidak kurang dari 16.500 santri. Jumlah tersebut belum termasuk pesantren-pesantren yang berkembang di luar Jawa seperti di Sumatra, Kalimantan dan lain-lain. Sedangkan dari segi materi, perkembangannya terlihat pada tahun 1920-an di pondok-pondok pesantren Jawa Timur, antara lain seperti: Pesantren Tebuireng di Jombang, pesantren Singosari di Malang yang mengajarkan ilmu-ilmu pendidikan Umum, seperti matematika, bahasa Indonesia, bahasa Belanda, berhitung, ilmu bumi dan sejarah.
Pesatnya perkembangan pesantren pada masa ini antara lain disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut: (1) para ulama dan kyai mempunyai kedudukan yang kokoh dilingkungan kerajaan dan keraton, yakni sebagai penasehat raja atau sultan, oleh karena itu pembinaan pondok pesantren mendapat perhatian besar dari para raja dan sultan; (2) kebutuhan umat Islam akan sarana pendidikan yang mempunyai ciri khas keislaman semakin meningkat, sementara sekolah-sekolah Belanda waktu itu hanya diperuntukkan untuk golongan tertentu; (3) hubungan transformasi antara Indonesia dan Mekkah semakin lancar sehingga memudahkan pemuda-pemuda Islam Indonesia menuntut ilmu di Mekkah[3]
Menurut para ahli, pasantren baru disebut pesantren bila memenuhi lima syarat yaitu: ada kyai, ada pondok, ada masjid, ada santri, dan ada pengajaran membaca kitab kuning. Dengan demikian bila orang menulis tentang pesantren maka topik-topik yang harus ditulis sekurang-kurangnya adalah:
1.         Kyai pesantren, mungkin mencakup syarat-syarat kyai untuk zaman kini dan nanti.
2.         Pondok, akan mencakup syarat-syarat fisik dan non fisik, pembiayayaan, tempat, penjagaan, dan lain-lain.
3.         Masjid, cakupannya akan sama dengan pondok.
4.         Santri, melingkupi masalah syarat, sifat, dan tugas santri.
5.         Kitab kuning, bila diluaskan akan mencakup kurikulum pesantren dalam arti yang luas[4]
                      
Adapun metode pembelajaran yang dilaksanakan di pondok pesantren adalah sebagai berikut:
1.              Wetonan
Metode wetonan yaitu kyai membacakan salah satu kitab di depan para santri yang juga memegang dan memerhatikan kitab yang sama. Dengan metode tersebut, santri hanya menyimak, memerhatikan, dan mendengarkan pembacaan dan pembahasan isi kitab yang dilakukan oleh kyai. Tidak digunakan absensi kehadiran, evaluasi, dan tidak ada pola klasikal.
Dalam proses belajarnya, biasanya kyai dikelilingi santrinya yang membentuk lingkaran, yang disebut halaqah.
2.              Sorogan
Metode sorogan adalah metode pembelajaran sistem privat yang dilakukan santri kepada seorang kyai. Dalam metode sorogan ini, santri datang kepada kyai dengan membawa kitab kuning atau kitab gundul, lalu membacanya di depan kyai dan menerjemahkannya.
Metode sorogan sebagai metode yang sangat penting untuk para santri, terutama santri yang bercita-cita menjadi kyai. Karena dengan metode sorogan, santri akan memperoleh ilmu yang meyakinkan dan lebih fokus kepada persyaratan utama menjadi kyai, yakni memahami ilmu alat dalam ilmu-ilmu yang paling prinsipil di pondok pesantren.
3.              Muhawarah
Muhawarah adalah suatu kegiatan berlatih bercakap-cakap dengan bahasa Arab yang diwajibkan oleh pesantren kepada santri selama mereka tinggal di pondok. Kegiatan tersebut biasanya digabungkan dengan latihan muhadharah dan muhadastah yang biasanya dilaksanakan 1-2 minggu sekali. Tujuan kegiatan tersebut adalah untuk melatih keterampilan para santri untuk berpidato[5]
4.              Mudzakarah
Mudzakarah merupakan suatu pertemuan ilmiah yang secara spesifik membahas masalah diniah seperti ibadah dan akidah serta masalah agama pada umumnya. Dalam mudzakarah terdapat dua tingkat kegiatan: pertama, mudzakarah diselenggarakan oleh sesama santri untuk membahas suatu masalah dengan tujuan melatih para santri dalam memecahkan persoalan dengan menggunakan kitab-kitab yang tersedia. Kedua, mudzakarah yang dipimpin oleh kyai, dan hasil mudzakarah para santri diajukan untuk dibahas dan dinilai seperti dalam suatu seminar.
Saat mudzakaran inilah santri menguji keterampilannya, baik dalam bahasa arab maupun keterampilannya dalam mengutip sumbersumber argumentasi dalam kitab-kitab klasik islam.
5.              Bandungan (bahasa Sunda)
Metode ini hanya berlaku di pesantren yang terdapat di Jawa Barat. Istilah “bandungan” artinya “perhatikan” dengan seksama ketika kyai membaca dan membahas isi kitab. Santri hanya memberi kode-kode atau menggantikan kalimat yang dianggap sulit pada kitabnya. Setelah kyai selesai membahas isi kitab, santri diperkenankan mengajukan pertanyaan atau pendapatnya
6.              Majelis taklim
Metode majelis taklim adalah suatu media penyampaian ajaran Islam yang bersifat umum dan terbuka. Para jamaah terdiri atas berbagai lapisan yang memiliki latar belakang pengetahuan bermacam-macam dan tidak dibatasi oleh tingkatan usia maupun perbedaan kelamin. Pengajian seperti ini hanya diadakan pada waktu tertentu saja. Ada yang seminggu sekali, dua minggu sekali, atau sebulan sekali. Materi yang diajarkan bersifat umum berisi nasihat-nasihat keagamaan yang bersifat amar ma’ruf nahi munkar. Ada kalanya materi diambil dari kitab-kitab tertentu, seperti tafsir Quran dan Hadits[6]
Eksistensi kyai dalam pesantren merupakan lambang kewahyuan yang selalu disegani, dipatuhi, dan dihormati secara ikhlas. Para santri dan masyarakat sekitar selalu berusaha agar dapat dekat dengan kyai untuk memperoleh berkah, sebab menurut anggapan mereka seperti yang dikatakan oleh Zamakhsyari Dhofier, kyai memiliki kedudukan yang tak terjangkau, yang tak dapat sekolah dan masyarakat memahami keagungan Tuhan dan rahasia alam13, kyai adalah tempat bertanya atau sumber-sumber referensi, tempat menyelesaikan segala urusan dan tempat meminta nasihat dan fatwa[7]
Berikut ini dipaparkan beberapa ciri yang menonjol dalam kehidupan pesantren, sehingga membedakannya dengan sistem pendidikan lainnya. Setidaknya ada delapan ciri pendidikan pesantren yaitu:
1. Adanya hubungan akrab antara santri dengan kyainya
2. Adanya kepatuhan santri kepada kyai
3. Hidup hemat dan penuh kesederhanaan
4. Kemandirian
 5. Berani menderita untuk mencapai suatu tujuan
6. Pemberian ijazah[8]


2.      Pendidikan Madrasah di Indonesia
Kata madrasah dalam bahasa Arab madrasatun berarti tempat atau wahana untuk mengenyam proses pembelajaran. Dalam bahasa Indonesia madrasah disebut dengan sekolah yang berarti bangunan atau lembaga untuk belajar dan memberi pengajaran[9]
Dari pengertian di atas maka jelaslah bahwa madrasah adalah wadah atau tempat belajar ilmu-imu keislaman dan ilmu pengetahuan keahlian lainnya yang berkembang pada zamannya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa istilah madrasah bersumber dari Islam itu sendiri.
Dalam perkembangannya di Indonesia, madrasah islamiyah ini merupakan lembaga yang berdiri jauh sebelum SD, SMP, SMU/ SMK, atau perguruan tinggi/ Universitas. Sebab madrasah adalah salah satu sarana atau media tempat yang strategis bagi kyai/ ustadz dengan masyarakat dalam rangka menyampaikan aspek-aspek ajaran islam. Melalui madrasah juga, para raja muslim, menyampaikan program kenegaraan dan keagaman yang dianutnya[10]
Sejarah dan perkembangan madrasah akan dibagi dua periode, yaitu:
a.              Periode Sebelum Kemerdekaan
Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam berfungsi menghubungkan sistem lama dengan sistem baru dengan jalan mempertahankan nilai-nilai lama yang masih baik dan masih dapat dipertahankan dan mengambil sesuatu yang baru dalam ilmu, teknologi, dan ekonomi yang bermanfaat bagi kehidupan umat Islam. Oleh karena itu, isi kurikulum madrasah pada umumnya adalah apa yang diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti pesantren, ditambah dengan beberapa materi pelajaran yang disebut dengan ilmu umum[11]
Latar belakang pertumbuhan madrasah di Indonesia dapat dikembalikan pada dua situasi yaitu[12]
1.          Gerakan Pembaruan Islam di Indonesia
Gerakan pembaruan Islam di Indonesia muncul pada awal abad ke-20 yang dilatarbelakangi oleh kesadaran dan semangat yang kompleks sebagaimana diuraikan oleh Karel A Steenbrink dengan mengidentifikasi empat faktor yang mendorong gerakan pembaruan Islam di Indonesia, antara lain;
a.     Keinginan untuk kembali kepada Al-Quran dan Hadits
b.    Semangat nasionalisme dalam melawan penjajah
c.     Memperkuat basis gerakan sosial, budaya, dan politik
d.  Pembaruan pendidikan Islam di Indonesia.
Bagi tokoh-tokoh pembaruan, pendidikan kiranya senantiasa dianggap sebagai aspek yang strategis untuk membentuk sikap dan pandangan keislaman masyarakat. Oleh karena itu, pemunculan madrasah tidak bisa lepas dari gerakan pembaruan Islam yang dimulai oleh usaha beberapa orang tokoh-tokoh intelektual agama Islam yang selanjutnya dikembangkan oleh organisasiorganisasi Islam.
2.     Respon pendidikan Islam terhadap kebijakan pendidikan Hindia Belanda
Pertama kali Belanda datang ke Nusantara hanya untuk berdagang, tetapi karena kekayaan alam Nusantara yang sangat banyak maka tujuan utama untuk berdagang berubah untuk menguasai wilayah Nusantara dan menanamkan pengaruh Nusantara sekaligus dengan mengembangkan pahamnya yang terkenal dengan semboyan 3G yaitu, Glory (kemenganan dan kekuasaan), Gold (emas atau kekayaan bangsa Indonesia), dan Gospel (upaya selibisasi terhadap umat Islam di Indonesia)[13]
Pada perkembangan selanjutnya di awal abad ke-20 atas pemerintah Gubernur Jenderal Van Heutsz sistem pendidikan diperluas dalam bentuk sekolah desa, walaupun masih diperuntukkan terbatas bagi kalangan anak-anak bangsawan. Namun pada masa selanjutnya, sekolah ini dibuka secara luas untuk rakyat umum dengan biaya yang murah[14]
Dengan terbukanya kesempatan yang luas bagi masyarakat umum untuk memasuki sekolah-sekolah yang diselenggarakan secara tradisional oleh kalangan Islam mendapat tantangan dan saingan berat, terutama karena sekolahsekolah pemerintah Hindia Belanda dilaksanakan dan dikelola secara modern terutama dalam hal kelembagaan, kurikulum, metodologi, sarana, dan lain-lain. Perkembangan sekolah yang demikian jauh dan merakyat menyebabkan tumbuhnya ide-ide di kalangan intelektual Islam untuk memberikan respon dan jawaban terhadap tantangan tersebut dengan tujuan untuk memajukan pendidikan Islam. Ide-ide tersebut muncul dari tokoh-tokoh yang pernah mengenyam pendidikan di Timur Tengah atau pendidikan Belanda. Mereka mendirikan lembaga pendidikan baik secara perorangan maupun secara kelompok/ organisasi yang dinamakan madrasah atau sekolah. Madrasahmadrasah yang didirikan tersebut antara lain:
1.      Madrasah (Adabiyah School). Madrasah ini didirikan oleh syekh Abdullah Ahmad pada tahun 1907 di Padang Panjang. Belum cukup satu tahun madrasah ini gagal berkembang dan dipindahkan ke Padang. Pada tahun 1915 madrasah ini mendapat pengakuan dari Belanda dan berubah menjadi Hollands Inlandshe School (HIS).
2.      Sekolah Agama (Madras School). Didirikan oleh syekh M. Thaib Umar di Sungayang, Batusangkar pada tahaun 1910. Madrasah ini pada tahun 1913 terpaksa ditutup karena alasan kekurangan tempat. Namun pada tahun 1918, Mahmud Yunus mendirikan Diniyah School sebagai kelanjutan dari Madrasah School.
3.      Madrasah Diniyah (Diniyah School). Madrasah Diniyah didirikan pada tanggal 10 Oktober 1915 oleh Zainuddin Labai El Yunisiy di Padang Panjang. Madrasah ini merupakan madrasah sore yang tidak hanya mengajarkan pelajaran agama tetapi pelajaran umum.
4.      Madrasah Muhammadiyah. Madrasah ini tidak diketahui berdirinya dengan pasti, namun diperkirakan berdiri pada tahun 1918. Yang didirikan oleh organisasi Muhammadiyah.
5.     Arabiyah School. Madrasah ini didirikan pada tahun 1918 di Ladang Lawas oleh Syekh Abbas.
Madrasah-madrasah di atas merupakan pionir dalam pendirian madrasah-madrasah lain di berbagai daerah lainnya untuk melakukan pembaruan pendidikan Islam di Indonesia.
b.      Periode Sesudah Kemerdekaan
Setelah kemerdeaan Indonesia, kemudian pada tanggal 3 Januari 1946 dibentuklah Departemen Agama yang akan mengurus masalah-maslah keberagaman agama termasuk di dalamnya pendidikan, khususnya madrasah. Namun pada perkembangan selanjutnya madrasah walaupun sudah berada di bawah naungan Departemen Agama tetapi hanya sebatas pembinaan dan pengawasan saja[15]. Keadaaan ini masih berlangsung sampai dengan dikeluarkannya SKB 3 Menteri tanggal 24 maret 1975, yang berusaha mengembalikan ketertinggalan pendidikan Islam untuk memasuki mainstream pendidikan Nasional[16]. Kebijakan ini membawa pengaruh yang sangat besar bagi madrasah, karena pertama, ijazah dapat mempunyai nilai yang sama dengan sekolah umum yang sederajat, kedua, lulusan sekolah madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum yang setingkat lebih tinggi, dan yang ketiga, siswa madrasah dapat pindah ke sekolah umum yang setingkat[17].
Bagi masyarakat muslim Indonesia, kata madrasatun setelah diindonesiakan menjadi madrasah, memiliki makna sendiri yaitu lembaga pendidikan sekolah yang berciri khaskan agama Islam yang sederajat dengan SMA/ SMK (UUSPN, 2003). Dengan kata lain, madrasah adalah lembaga pendidikan yang mengajarkan ilmu pengetahuan keagamaan dan ilmu pengetahuan umum lainnya[18]
Secara hirarkies, Madrasah bila dipelajari dari segi historis, memiliki tiga perjenjangan yaitu madrasah awaliyah, madrasah al wustha, dan madrasah al a’la. Jika dibahasa indonesiakan, masing-masing memiliki makna sebagai berikut: “sekolah pemula” yang kemudian lebih dikenal dan dibakukan menjadi Sekolah Dasar (SD), sekolah menengah” meliputi Sekolah Mengah Pertama (SMP) dan Sekolah Umum (SMU). Madrasah al a’la berarti “sekolah atas” atau bahkan “sekolah tinggi”.
Dari kedua makna ini yakni sekolah Atas atau Sekolah Tinggi, yang lebih dikenal di Indonesia adalah makna yang pertama, yaitu “Sekolah Menengah Atas (SMA)”. Karenanya, wajar jika Madrasah Aliyah (MA) sederajat dengan SMU/SMK, dan bukan Sekolah Tinggi yang sederajat dengan Perguruan Tinggi/ Universitas. Hirarkis tersebut menggambarkan bahwa perjenjangan pendidikan yang sekarang berlangsung adalah merupakan kelanjutan dari perjenjangan yang telah diberlakukan di madrasah yang diselenggarakan oleh masyarakat muslim Indonesia.
Tetapi pada perkembangan selanjutnya, setelah perjenjangan yang ada pada pendidikan di Indonesia melalui SD, SMP, dan seterusnya dibakukan, lembaga-lembaga pendidikan Islam seprti MI, MTS, dan seterusnya yang menggunakan bahasa Arab, baik dalam pelaksanaannya maupun materi serta metode pengajarannya semakin tergeser ke pinggir dari perhatian masyarakat muslim Indonesia. Keadaan ini dapat diperhatikan dari sebagian remaja muslim cenderung memilih untuk melanjutkan studinya ke SMP atau SMA/ SMK dari pada melanjutkan studinya ke madrasah.[19]
Dalam perkembangannya, sistem pendidikan Islam madrasah sudah tidak menggunakan sistem pendidikan yang sama dengan sistem pendidikan Islam pesantren. Karena di lembaga pendidikan madrasah ini sudah mulai dimasukkan pelajaran-pelajaran umum seperti sejarah ilmu bumi, dan pelajaran umum lainnya. Sedangkan sebagian metode pengajarannya sudah tidak lagi menggunakan sistem halaqah seperti di pesantren, melainkan sudah mengikuti metode pendidikan modern barat, yaitu dengan menggunakan ruang kelas, kursi, meja, dan papan tulis untuk proses belajar mengajar[20]
Eksistensi Lembaga Pendidikan Madrasah di Pada masa Kemerdekaan.
Madrasah yang merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam, memiliki
kiprah panjang dalam dunia pendidikan di Indonesia. Pendidikan madrasah
merupakan bagian dari pendidikan nasional yang memiliki kontribusi tidak kecil
dalam pembangunan pendidikan nasional atau kebijakan pendidikan nasional.
Madrasah telah memberikan sumbangan yang sangat signifikan dalam proses
pencerdasan masyarakat dan bangsa, khususnya dalam konteks perluasan akses
dan pemerataan pendidikan.
Tugas yang diemban madrasah di era global ini semakin berat. Sebagai
lembaga pendidikan yang berbasis nilai-nilai keagamaan, madrasah tidak hanya
dituntut untuk melakukan transfer of knowledge, tetapi jugatransfer of Islamic
values. Padahal, lembaga madrasah sendiri saat ini masih bergelut dengan sekian
permasalahan internal yang tidak kunjung selesai.
Munculnya MI, MTs, dan MA ternyata memunculkan persoalan baru,
yaitu rendahnya mutu pendidikan lembaga-lembaga itu dibanding sekolah-sekolah
pada umumnya. Melihat fenomena tersebut pada 1974, muncul gagasan untuk
membangun pendidikan satu atap, di mana madrasah akan dilebur menjadi satu
dengan sekolah-sekolah yang ada. Gagasan semacam ini tentu ditolak oleh umat
Islam. Alasannya, kalau mutu pendidikan madrasah kurang berkualitas, langkah
yang paling arif bukan meleburnya dengan sekolah-sekolah umum, tetapi
memperbaiki mutu pendidikan madrasah tersebut.
Mencari jalan terbaik atas dua gagasan tersebut, pada 1975, Menteri
Dalam Negeri, Menteri Agama, dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada
saat itu, mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang peningkatan
mutu pendidikan madrasah (Nata, 2005: 203). Menurut SKB itu, yang dimaksud
dengan madrasah adalah lembaga pendidikan yang menjadikan mata pelajaran
agama Islam sebagai mata pelajaran dasar, yang diberikan sekurang-kurangnya 30
persen di samping mata pelajaran umum.
Setelah Indonesia merdeka, segera dilakukan upaya-upaya pembaharuan dalam bidang pendidikan dan pengajaran. BP KNIP (Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat) dalam sidangnya tanggal 29 Desember 1945 membuat sejumlah rekomendasi kepada Kementerian Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan, yang intinya agar selekas mungkin mengusahakan pembaharuan pendidikan dan pengajaran yang dijalankan sesuai dengan rencana pokok usaha pendidikan dan
pengajaran baru. Dalam rekomendasi itu juga disinggung tentang keberadaan madrasah dan pesantren, yakni: “… Madrasah dan pesantren-pesantren yang pada hakekatnya adalah satu alat dan sumber pendidikan dan pencerdasan rakyat jelata yang sudah berurat dan berakar dalam masyarakat Indonesia umumnya, hendaklah pula mendapat perhatian dan bantuan yang nyata dengan berupa tuntunan dan
bantuan material dari pemerintah. ”[21]
Tentang pendidikan agama, Panitia Penyelidik merekomendasikan hal-hal berikut; (a) Pelajaran agama dalam semua sekolah diberikan pada jam pelajaran sekolah, (b) Para guru dibayar oleh pemerintah, (c) Pada Sekolah Dasar, pendidikan agama diberikan mulai kelas IV, (d) Pendidikan tersebut diselenggarakan seminggu sekali pada jam tertentu, (e) Para guru agama diangkat oleh Departemen Agama, (f)
Para guru agama diharuskan juga cakap dalam pendidikan umum, (g) Pemerintah menyediakan buku untuk pendidikan agama, (h) Diadakan latihan bagi para guru agama, (i) Kualitas pesantren dan madrasah harus diperbaiki, dan (j) Pengajaran bahasa Arab tidak dibutuhkan.[22] Dari sekian rekomendasi di atas, perhatian khusus terhadap madrasah hanya pada bagian (i), selebihnya diarahkan pada pendidikan agama disekolah umum.
Eksistensi Madrasah pada masa Orde Lama
Setelah Indonesia merdeka sistem Pendidikan menemukan momentumnya untuk berkembang lebih luas, terbuka dan demokratis. Kehadiran Madrasah sebagai lembaga pendidikan yang relatif baru di Indonesia terus mengalami perkembangan. Mengantisipasi perkembangan yang pesat dalam dunia pendidikan ini terus mengalami perkembangan. Kehadiran Madrasah tidak berarti menginggalkan pengajian Tradisional, melainkan justu melengkapi, berjalan berdampingan dan saling mengisi. Bahkan setelah Indonesia merdeka, mendapat perhatian Pemerintah, terutama setelah terbentuknya Departemen Agama. Untuk menindaklanjuti pendidikan agama melalui Madrasah , Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) dalam bulan Desember 1945 menganjurkan agar pendidikan Pesantren dan Madrasah diteruskan, bahkan bahkan mendesak pemerintah agar memberikan bantuan kepada Pesantren dan Madrasah. (Munir, 2010:20).
Melalui Kementerian Agama segera dibentuk bagian khusus yang bertugas menyusun pelajaran dan pendidikan Agama Islam dan Kristen,mengawasi pengangkatan guru agama, dan mengawasi guru agama. (Munir,2010:21). Selain  itu dianjurkan juga agar pesantren tradisional dikembangkan menjadi Madrasah yang disusun secara klasikal, memakai kurikulum yang tetap dan dimasukkan mata pelajaran umum di samping agama, sehingga santri di Madrasah juga mendapatkan pendidikan umum yang sama dengan murid di sekolah umum. (Yatim, 2010:20). Perhatian Pemerintah tersebut diwujudkan dengan menempatkan agama sebagai pondasi bangsa dan negara.
Keberadaan pesantren dan madrasah mendapat pengakuan secara sah dari pemerintah melalui BPKNIP sebagai Badan Pekerja MPR waktu itu. Hal-hal ini dapat dilihat dalam rumusan Pokok-pokok Usaha Pendidikan dan Pengajaran yang dirumuskan oleh BPKNIP bahwa pesantren dan madrasah pada hakikaktnya adalah salah satu sumber pendidikan dan pencerdasan bangsa yang sudah berurat berakar dalam masyarakat Indonesia, hendaknya pula mendapat perhatian dan bantuan yang nyata berupa pembinaan dan bantuan dana dari pemerintah. (Zarkasyi, 2000:40)
Dari uraian tersebut dapat dipahami, bahwa pesantren dan madrasah bukan hanya mendapat pengakuan, tetapi juga dukungan dalam bentuk pembinaan dan sokongan dana. Wewenang dalam pembinaan pesantren dan madrasah diserahkan langsung kepada Departemen Agama Republik Indonesia. Departemen yang dibentuk pada tanggal 31 Januari 1946 memiliki fungsi antara lain, mengelola pendidikan agama di madrasah dan pesantren dan mengurus pendidikan agama di sekolah-sekolah umum. Selain itu, khususnya dalam kabinet Wilopo , tugas Departemen Agama ditambah yaitu; melaksanakan pendidikan dan keguruan untuk pengajar agama di sekolah umum. 
.Dengan tugas-tugas seperti diuraikan diatas, Kedudukan Departemen Agama dapat dikatakan sebagai representasi umat Islam dalam memperjuangkan penyelenggaraan pendidikan secara lebih luas di Indonesia. Dalam hubungannya dalam perkembangan Madrasah Kementerian Agama menjadi tumpuan dalam politis yang dapat mengangkat madrasah sehingga memperoleh perhatian yang terus menerus dari Pemerintah. Kementerian Agama secara intensif mengembangkan program-program perluasan dan peningkatan mutu madrasah.
Undang-undang sistem Pendidikan pertama yang berlaku di Indonesia setelah Kemerdekaan  adalah UU No 4 Tahun 1950 yang mengakui eksistensi madrasah dalam sistem pendidikan Nasional. Sebagai tindak lanjut dari Undang-undang tersebut, Kementerian Agama mengeluarkan kebijakan bahwa madrasah yang diakui dan memenuhi syarat untuk menyelenggarakan kewajiban belajar harus terdaftar pada Kementerian Agama. Meskipun tampaknya pendidika Madrasah telah mendapat pengakuan dari pemerintah, namun perhatiannya masih sangat kecil. Hal ini nampak jelas di dalam UU No 4 Tahun 1950 pada pasal 3, yang menyebutkan “bahwa tujuan pendidikan Nasional adalah membentuk manusia susila yang cakap dan warga negara yang demokratis, serta bertanggung jawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan tanah airnya.” Dari rumusan ini tidak tampak adanya perhatian pemerintah terhadap pembinaan mental spiritual dan keagamaan secara sungguh-sungguh melalui proses pendidikan.Hal ini tampak jelas lagi didalam pasal 20 ayat 1, yang menyebutkan bahwa pendidikan agama di sekolah bukan pelajaran wajib dan bergantung pada persetujuan orang tua siswa. Bahkan dijelaskan bahwa mata pelajaran pendidikan agama bukan merupakan faktor penentu dalam kenaikan kelas peserta didik. (Ridwan, 1978:130-131).
Kebijakan pemerintah yang menyangkut pengelolaan pendidikan agama telah berlangsung dengan baik, yang ditandai dengan beberapa regulasi seperti Ketetapan MPRS No II /MPRS/1960 yang memberi perhatian kepada Lembaga Pendidikan Keagamaan. Ketetapan MPRS No II/MPRS/1960 ini berisi tentang; “ Garis-garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana”. Didalam ketetapannya tersebut, disebutkan bahwa “Pendidikan Agama menjadi program wajib sekolah-sekolah mulai dari Sekolah Dasar sampai Universitas Negeri.  Terbutnya beberapa ketetapan MPRS tersbut telah membutkikan dan mensahkan bahwa pendidikan agama dan lembaga pendidikan agama seperti pesantren dan madrasah mendapat pengakuan pemerintah melalui konstitusi negara, sehingga madrasah dan pesantren adalah bagian integral dari sistem pendidikan Nasional.
Eksistensi Madrasah pada masa Orde Baru.
Di awal pemerintahan Orde Baru, ketika pasca pemberontakan PKI tahun 1965, pemerintah Indonesia perhatian yang sungguh-sungguh terhadap lembaga pendidikan Islam, sebab disadari bahwa dengan bermentalkan agama yang kuat dan kokoh, bangsa Indonesia akan terhindar dari paham komunis.
Selanjutnya dalam meningkatkan mutu Madrasah, pemerintah melalui Kementerian Agama pada tahun 1967, mengeluarkan kebijakan untuk menegerikan sejumlah madrasah dalam semua tingkatan mulai dari Ibtidaiyah hingga Aliyah. Usaha ini dapat menegerikan Madrasah sejumlah 123 madrasah Ibtida’iyah, sehingga total Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) yang berstatus Negeri menjadi 358. Dalam waktu yang singkat, juga dapat dinegerikan sejumlah 182 Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN), dan 42 Madrasah Aliyah Negeri (MAN). Dengan memberikan status Negeri kepada lembaga Pendidikan Islam berarti tanggung jawab Pemerintah bersama masyarakat, baik dalam pengaturan dan kontrol akan menjadi lebih efektif. (Maksum, 1999:132; Halim,2008:85-86).
Untuk memperkuat struktur madrasah sebagai lembaga pendidikan, maka diterbitkanlah Surat Keputusan Bersam (SKB) Tiga Menteri pada tahun 1975, yaitu Kementerian Agama, KementerianPendidikan Pengajaran & Kebudayaan (PP&K), dan Kementerian Dalam Negeri. Adapun inti SKB itu pada Bab II pasal 2 ialah: (1) ijazah madrasah dapat mempunyai nilai yang sama dengan ijazah sekolah umum yang setingkat/sederajat; (2) Lulusan Madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum yang setingkat diatasnya; (3)  Siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum/sederajat;. (Daulay, 2004:152)
Untuk meningkatkan kualitas madrasah  sebagai lembaga pendidikan sebagai Lembaga Pendidikan, pemerintah melalui Kementerian Agama dibawah kepemimpinan Munawir Sadzali pada tahun 1987, didirikanlah Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK). Madrasah ini diharapkan agar menjadi lembaga pendidikan yang mampu mencetak ulama’ yang menguasai ilmu agama dan pengetahuan umum dengan baik, utamanya Bahasa Arab dan Bahasa Inggris (Saleh, 1984:19).
Memasuki tahun 1990-an, kebijakan pemerintah Orde Baru mengenai Madrasah ditujukan secara penuh untuk membangun satu sistem pendidikan nasional yang utuh. Oleh karena itu disusunlah UU No 2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menggantikan UU No 4 Tahun 1950 jo No 12 Tahun 1954. Dalam konteks ini, penegasan secara sah tentang Madrasah diberikan melalui keputusan yang lebih operasional dan dimasukkan dalam kelompok pendidikan umum, tanpa menghilangkan karakter dan nuansa keagamaanya. Melalui upaya ini madrasah menjadi lebih berkembang secara terpadu dalam konteks sistem pendidikan nasional.
Setelah terbitnya SKB Tiga Menteri tahun 1975, usaha pengembangan madrasah dalam upaya meningkatkan mutu lulusannya ditindak lanjuti dengan menerbitkan SKB Dua Menteri yang baru Tahun 1984, antara Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 299/U/1984 yang menyangkut pembakuan kurikulum sekolah umum dan kurikulum madrasah yang isinya antara lain;adalah mengizinkan kepada lulusan madrasah untuk melanjutkan ke sekolah umum yang lebih tinggi (Zuhairini,2000:198). SKB Dua Menteri ini berlandaskan pada TAP MPR No II/TAP/MPR/1983 tentang perlunya penyesuaian sistem pendidikan sejalan dengan daya kebutuhan pembangunan di segala bidang, antara lain dilakukan melalui perbaikan kurikulum sebagai salah satu diantara berbagai upaya perbaikan penyelenggaraan pendidikan sekolah umum dan madrasah (Zulfahmi,et.al,1999:15). Dalam SKB ini terjadi perubahan berupa perbaikan penyempurnaan kurikulum sekolah umum dan madrasah. Perubahan tersebut tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Agama No 99 Tahun 1984 untuk tingkat Madrasah Ibtidaiyah (MI), dan Surat Keputusan Menteri Agama No 100 Tahun 1984 untuk tingkat Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan Surat Keputusan Menteri Agama No 101 Tahun 1984 untuk Tingkat Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN). (Nizar, 2007:365).
Ketiga SK Menteri Agama tersebut merupakan upaya untuk memperbaiki kurikulum madrasah agar lebih efektif dan efisien dalam hal; (1) mengorganisasikan program pengajaran (tingkat madrasah), (2) untuk membentuk manusia yang memiliki Keimanan dan Ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta keharmonisan sesama manusia dan dan lingkungannya; (3) mengefektifkan proses belajar mengajar, dan (4) mengoptimalkan waktu belajar (Nizar, 2007:365)
Upaya pengaturan dan pembaruan Madrasah dikembangkan dengan menyusun kurikulum sesuai konsensus yang ditetapkan. Khusus untuk Madrasah Aliyah (MA)nwaktu belajar untuk setiap mata pelajaran berlangsung 45 menit dan memamkai sistem semester. Sementara itu, jenis program pendidikan dalam kurikulum madrasah terdiri dari program inti dan program pilihan. Pengembangan kedua kurikulum ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu; (A) pendidikan agama, terdiri dari ; Al Qur’an dan hadist, aqidah akhlak, Fiqih, sejarah Kebudayaan islam, dan bahasa Arab, dan (B) pendidikan dasar umum, terdiri dari : PMP, Pendidikan Sejarah dan Perjuangan Bangsa (PSPB), Bahasa dan Sastra Indonesia, Sejarah Nasional Indonesia, Pengetahuan Sosial, Sains, Olahraga Kesehatan, Matematika, Pendidikan Seni, Pendidikan Keterampilan, dan Bahasa Inggris (Berlaku untuk MTs dan MA), Ekonomi (untuk MA), Biologi (untuk MA), Fisika (untuk MA), dan Kimia (untuk MA) (Nizar, 2007:366).
Kebijakan pemerintah dalam SKB Dua Menteri tahun 1984 menimbulkan dillema baru bagi madrasah, bahwa disatu sisi lain penguasaan pengetahuan umum untuk madrasah meningkat secara kuantitas dan kualitas, tapi disisi lain penguasaan peserta didik terhadap ilmu pengetahuan agama menjadi “serba tanggung” , sehingga untuk mencetak ulama’ dari madrasah merupakan hal yang meragukan. Oleh karena itu, melalui Keputusan Menteri Agama No 73 Tahun 1987 didirikanlah Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) yang bertujuan untuk mengembangkan dan pendalaman-pendalaman ilmu keagamaan dengan tidak mengesampingkan ilmu umum sebagai usaha pengembangan wawasan keilmuan(Ashrohah, 1999:199)

3.      Pendidikan Non Formal di Indonesia
Dalam Undang-Undang No.20 Tahun 2003 dijelaskan tentang pendidikan nonformal, pasal 26 ayat 3: yang berbunyi, satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majlis taklim, serta satuan pendidikan sejenis[23].
Pendidikan nonformal dalam pendidikan Islam akan memberikan kontribusi yang sangat berarti, karena menyiapkan peserta didik untuk menguasai ilmu keislamam dan memiliki tingkat pengalaman yang baik dan sempurna dalam kehidupan sehari-hari. Keinginan masyarakat Islam dalam mengembangkan dan melaksanakan pendidikan keagamaan Islam dapat dilihat banyaknya lembaga pendidikan Islam yang tumbuh, karena terinspirasi dari al-Quran dan Hadis Nabi Muhammad SAW., untuk selalu meningkatkan keimanan dan ilmu pengetahuan.
Pendidikan Islam atau pendidikan Islam nonformal sangat mudah dilaksanakan.Misalnya dalam bentuk lembaga kursus, kursus membaca dan menafsirkan Al-Qur’an, bisa dalam bentuk pelatihan (pesantren kilat, kelompok belajar) dan pusat kegiatan belajar masyarakat.
1.      Lembaga Pendidikan Surau
Kata surau bermula dari istilah Melayu-Indonesia dan penggunaannya meluas sampai di Asia Tenggara. Sebutan surau berasal dari Sumatera Barat tepatnya di Minangkabau. Sebelum menjadi lembaga pendidikan Islam, istilah ini pernah digunakan (warisan) sebagai tempat penyembahan agama HinduBudha[24]
Surau dalam sejarah Minangkabau diperkirakan berdiri pada tahun 1356 M. yang dibangun pada masa Raja Adityawarman di Kawasan bukit Gonbak. Sebagaimana diketahui dalam lintasan sejarah Nusantara, bahwa pada masa ini adalah masa keemasan bagi agama Hindu-Budha, maka secara tidak langsung dapat dipastikan bahwa eksistensi dan esensi surau kala itu adalah sebagai tempat ritual bagi pemeluk agama Hindu-Budha. Setelah keberadaan agama Hindu-Budha mulai surut dan pengaruh selanjutnya digantikan Islam, surau akhirnya mengalami akulturasi budaya ke dalam agama Islam. Setelah mengalami islamisasi, surau akhirnya menjadi pusat kegiatan bagi pemeluk agama Islam dan sejak itu pula surau tidak dipandang lagi sebagai sesuatu yang mistis atau sakral. Surau menjadi media aktivitas pendidikan umat Islam dan tempat segala aktivitas social
Kedatangan Islam ke Sumatera Barat telah memberikan pengaruh dan perubahan bagi kelangsungan surau sebelumnya. Surau mulai terpengaruh dengan panji-panji penyiaran agama Islam. Dengan waktu yang tidak lama, surau kemudian mengalami islamisasi, walaupun dalam batas-batas tertentu masih menyisakan suasana kesakralan dan merefleksikan sebagai simbol adat Minangkabau.
 Proses islamisasi surau begitu cepat dengan ditandai beberapa aktivitas keagamaan. Meski tidak harus merubah label namanya, kaum muslim dapat menerima (mempertahankan) tanpa mempertanyakan keberadaan asal- usulnya. Karena yang lebih penting masa itu adalah adanya sarana yang efektif untuk melakukan menyiarkan agama Islam. Nama atau label bukanlah hal yang prinsip, dan yang lebih esensi adalah semangat dalam menciptakan suasana dan aktivitas di kalangan umat Islam dalam memperkokoh keimanan dan Keislamannya. Nilai-nilai semangat inilah yang dipegangi umat Islam hingga surau dikenal khalayak luas sepanjang sejarah.
Fungsi surau tidak berubah setelah kedatangan Islam, hanya saja fungsi keagamaannya semakin penting yang diperkenalkan pertama kali oleh syekh Burhanuddin di Ulakan, Pariaman. Pada masa ini, eksistensi surau disamping sebagai tempat shalat, juga sebagai tempat mengajarkan ajaran Islam, khususnya tarekat (suluk)[25]
Secara bertahap, eksistensi surau sebagai lembaga pendidikan Islam mengalami kemajuan. Ada dua jenjang pendidikan surau pada era ini, yaitu:
a.       Pengajaran Al-Quran. Untuk mempelajari Al-Quran ada dua tingkatan;
1.      Pendidikan Rendah, yaitu pendidikan untuk memahami ejaan huruf Al-Quran. Di samping itu, juga dipelajari cara berwudhu dan tata cara shalat yang dilakukan dengan metode praktik dan menghafal, keimanan terutama yang berhubungan dengan sifat dua puluh yang dipelajari dengan menggunakan metode menghafal melalui lagu, dan akhlak yang dilakukan dengan cerita tentang nabi dan orang-orang shaleh lainnya.
2.      Pendidikan Atas, yaitu pendidikan membaca Al-Quran dengan lagu, kasidah, berjanji, tajwid, dan kitab perukunan.
Lama pendidikan di kedua jenis pendidikan tersebut tidak ditentukan. Seorang siswa baru dikatakan tamat bila ia telah mampu menguasai materimateri di atas dengan baik. Bahkan adakalanya seorang siswa yang telah menamatkan mempelajari Al-Quran dua atau tiga kali baru berenti dari pengajaran Al-Quran.
b.    Pengajian Kitab
Materi pendidikan pada jenjang ini meliputi; ilmu sharaf dan nahwu, ilmu fiqih, ilmu tafsir, dan ilmu-ilmu lainnya. Cara mengajarkannya adalah dengan membaca sebuah kitab Arab dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu. Setelah itu baru diterangkan maksudnya. Penekanan pada jenjang ini adalah pada aspek hafalan. Agar siswa cepat hafal, maka metode pengajarannya dilakukan melalui cara menghafalkan materi dengan lagu-lagu tertentu. Pelaksanaan pada jenjang ini biasanya dilakukan pada siang hari[26]
Metode pendidikan di surau bila dibandingkan dengan metode pendidikan modern, sesungguhnya metode pendidikan di surau memiliki kelebihan dan kelemahannya. Kelebihannya terletak pada kemampuan menghafal muatan teoritis keilmuan. Sedangkan kelemahannya terdapat pada lemahnya kemampuan memahami dan menganalisis teks. Di sisi lain, metode pendidikan ini diterapkan secara keliru. Siswa banyak yang bisa membaca dan menghalaf suatu kitab, akan tetapi tidak bisa menulis apa yang dibaca dan dihafalnya itu[27]

2. Lembaga Pendidikan Meunasah
Dalam perkembangan lebih lanjut, Meunasah bukan hanya berfungsi sebagai tempat ibadah saja, melainkan juga sebagai tempat pendidikan, tempat pertemuan, bahkan juga sebagai tempat transaksi jual beli, terutama barangbarang yang bergerak. Yang belajar di meunasah umumnya anak laki-laki yang umumnya di bawah umur. Sedangkan untuk anak perempuan pendidikan diberikan di rumah guru[28].
Pendidikan meunasah ini dipimpin oleh Teungku meunasah. Pendidikan untuk anak perempuan diberikan oleh teungku perempuan yang disebut teungku Inong. Dalam memberikan pendidikan kepada anak-anak, teungku meunasah dibantu oleh beberapa miridnya yang lebih cerdas yang disebut sida[29]
Belajar di meunasah tidak dipungut bayaran, dengan demikian para teungku tidak diberi gaji, karena mengajar dianggap ibadah. Namun, biasanya tengku mendapatkan hadiah dari murid-muridnya apabila mereka telah belajar Al-Quran sampai juz ke-15 atau pada saat khatam Al-Quran. Hadiah-hadiah lain juga diperoleh pada waktu upacara-upacara akad nikah, sunat, pembagian harta warisan, perkara perdata, mengakhiri sidang-sidang pengadilan, pemberian nasihat-nasihat, dan juga zakat.
Keberadaan meunasah sebagai lembaga pendidikan tingkat dasar sangat mempunyai arti di Aceh. Semua orang tua memasukkan anaknya ke meunasah.
Dengan kata lain, meunasah merupakan madrasah wajib belajar bagi masyarakat Aceh masa lalu. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila Aceh mempunyai fanatisme agama yang tinggi.

3.      Lembaga Pendidikan TPA
Uraian pendidikan nonformal dalam perspektif pendidikan keagamaan Islam ditemukan dalam Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan pada pasal 21 ayat 1 yang berbunyi “pendidikan diniyah nonformal diselenggarakan dalam bentuk pengajian kitab, Majelis Taklim, Pendidikan Al Qur’an, Diniyah Takmiliyah, atau bentuk lain yang sejenis”.[30]
Dari salah satu pendidikan diniyah nonformal terdapat pendidikan Al-Qur’an yang menjadi kepala dari Taman Pendidikan Al-qur’an (TPA). Seperti yang tertulis dalam Peraturan Pemerintah No.55 Tahun 2007 pada pasal 24 ayat 1 s/d 6, ayat-ayat tersebut berbunyi sebagai berikut:
1.      Pendidikan Al-qur’an bertujuan meningkatkan kemampuan peserta didik membaca, menulis, memahami, dan mengamalkan kandungan Al-qur’an.
2.      Pendidikan Al-qur’an terdiri dari Taman Kanak-kanak Alqur’an (TKQ), Taman Pendidikan Al-qur’an (TPQ), Ta’limul Qur’an lil Aulad (TQA), dan bentuk lain yang sejenis.
3.      Pendidikan Al-qur’an dapat dilaksanakan secara berjenjang dan tidak berjenjang.
4.      Penyelenggaraan pendidikan Al-qur’an dipusatkan di masjid, mushalla, atau tempat lain yang memenuhi syarat.
5.     Kurikulum pendidikan Al-qur’an adalah membaca, menulis dan menghafal ayat-ayat Al-qur’an, tajwid, serta menghafal doa-doa utama.
Taman pendidikan al-Qur’an merupakan pengajian anak-anak dalam bentuk baru dengan metode praktis di bidang pengajaran membaca al-Qur’an yang di kelola secara professional.
Materi pendidikan luar sekolah disusun sedemikian rupa dengan berusaha memenuhi aspirasi yang hidup dalam masyarakat. Seperti dalam Peraturan Pemerintah No.55 tahun 2007 tentang Pendidikan Diniyah Nonformal pasal 24 ayat 5; kurikulum pendidikan Al-qur’an adalah membaca, menulis dan menghafal ayat-ayat Al-qur’an, tajwid, serta menghafal doa-doa utama.
Taman Pendidikan Al-qur’an mempunyai pengaruh besar terhadap pendidikan keagamaan anak dalam upaya memberikan pembekalan dasar dan motivasi belajar anak untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi guna meraih prestasi dan mewujudkan cita-cita, juga harapan orang tua, agama dan bangsa.
4.      Kajian Muatan Nilai-nilai Islam di Lembaga Pendidikan Indonesia (dibawah naungan Kemendiknas dan kemenag)
Nilai-nilai dasar mencerminkan totalitas sebuah sistem. Dalam Encyclopedia Britanica disebutkan "valm is a determination or quality ofohject wch lnvolves any sort or appreciation or interest" (nilai adalah sesuatu yang menentukan atau suatu kuaHtas obyek yang meUbatkan suatu jenis atau apresiasi atau minat)[31]. Menurut Milton dan James B ank, nilai adalah suatu tipe kepercayaan yang berada dalam ruang Hngkup sistem kepercayaan, dalam mana seseorang harus bertindak atau menghindari suatu tindakan, atau mengenai sesuatu yang pantas atau tidak pantas dikerjakan, dimilikj atau dipercayai.[32] Dengan demikian, nilai merupakan preferensi yang tercermin dari prilaku seseorang, sehingga ia melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Dalam kaitan ini, nilai adalah konsep, sikap dan keyakinan seseorang terhadap sesuatu yang dipandang berharga olehnya.
Ketika nilai telah dilekatkan pada sebuah sistem, maka ia akan mencerminkan paradigma, jati diri dan grand concept dari sistem tersebut Oleh karcna itu, nilai-nilai dasar pendidikan Islam bermakna konsep-konsep pendidikan yang dibangun berdasafkan ajaran Islam sebagai landasan etis, moral dan operasional pendidikan. Dalam konteks ini, nilai-nilai dasar pendidikan Islam menjadi pembeda dari model pendidikan lain, sekaligus menunjukkan karakteristik khusus.
Akan tetapi perlu ditegaskan, sebutan Islam pada pendidikan Islam tidak cukup dipahami sebatas "ciri khas". Ia berimplikasi sangat luas pada seluruh aspek menyangkut pendidikan Islam, sehingga akan melahirkan pribadi-pribadi Islami yang mampu mengemban misi yang diberikan oleh Allah, yakni sebagai Khalifah dan 'abid.' Ali' Ashraf menyebutnya, The ultimate aim of muslim education lies in the realization of complete submission to Allah on the level of the individual, the community and humanity at large” (tujuan tertinggi dari pendidikan Islam adalah mereaHsasikan kepasrahan penuh pada Allah pada tingkat individual, komunitas dan umat).
Dengan demikian, pendidikan yang dijaIankan atas niki dasar Islam mempunyai dua orientasi. Pertama, Ketuhanan, yaitu penanaman rasa takwa dan pasrah kepada Allah sebagai Pencipta yang tercermin dari kesalehan ritual atau nilai sebagai hatnba Allah. Kedua, Kemanusiaan, menyangkut tata hubungan dengan sesama manusia, lingkungan dan makhluk hidup yang lain yang berkaitan dengan status manusia sebagai Khalifatullahfi al ardh.
Nilai-nilai dasar mencerminkan totalitas sebuah sistem. Dalam Encyclopedia Britanica disebutkan "Value is a determintaian or quality of object wich involves any sorl or appndation or interest" (nilai adalah sesuatu yang menentukan atau suatu kuaUtas obyek yang melibatkan suatu jenis atau apresiasi atau minat.[33]
Menurut Milton danJames Bank, nilai adalah suatu tipe kepercayaan yang berada dalam ruang lingkup sistem kepercayaan, dalam mana seseorang harus bertindak atau menghindari suatu tindakan, atau mengenai sesuatu yang pantas atau tidak pantas dikerjakan, dimliiki atau dipercayai. [34] Dengan demikian, nilai merupakan preferensi yang tercermin dari prilaku seseorang, sehingga ia melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Secara cpistemologis, pendidikan Islam diletakkan pada dasar-dasar ajaran Islam dan seluruh perangkat kebudayaannya.  Dasar-dasar pembcntukan dan pengembangan pendidikan Islam yang pertama dan utama tcntu saja adalah A1- Qur'an dan Sunnah. Mcnetapkan Al-Qur'an sebagai landasan epistemologis nilai-nilai dasar pendidikan Islam bukan hanya dipandang sebagai kebenaran yang didasarkan pada keimanan semata. Akan tetapi, justru karena kebenaran yang terdapat dalam kcdua dasar tersebut dapat diterima oleh nalar manusia dan dapat dibuktikan dalam sejarah atau pengalaman kcmanusiaan. Sebagai pedoman, Al-Qur'an tidak ada keraguan padanya (QS. Al-Baqarah : 2). Ia tetap terpelihara kesucian dan kebenarannya (QS. Ar-Ra'du : 9), baik dalam pembinaan aspek sosial budaya dan pendidikan.
Demikian juga dengan kebenaran Sunnah sebagai dasar kedua bagi pendidikan Islam. Secara umum Sunnah dipahami sebagai segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perbuatan, pcrkataan dan ketetapannya. Kepribadian Rasul scbagai uswatun hasanatun (QS.Al-Ahzab : 21) dan priIakunya senantiasa terpeUhara dan dikontrol oleh Allah (QS.An-Najm : 3-4) adalah jaminan AUah bahwa mencontoh Nabi dalam segala hal adalah suatu keharusan.
Landasan epistemologis scperti dikemukakan di atas, selanjutnya di-break down menjadi nilai-nilai dasar pendidikan Isiam sekaligus pelaksanaannya. Dalam konteks ini, ada beberapa nilai dasar yang dapat dimunculkan, antara lain:
1.                  Keimanan dan ketaqwaan
Aktivitas scorang mushm di bidang apapun, menurut konsep Islam harus didedikasikan untuk meningkatkan kualitas iman dan taqwa. Sebab, itulah ultimate purpose kehidupan manusia (Qs Ali Imron:102) Oleh karena itu, nilai dasar pendidikan Islam adalah kcimanan dan ketaqwaan. Artinya, pendidikan Islam harus dapat menjadi wahana bagi peningkatan iman dan taqwa anak didik.
Berdasarkan niIai dasar ini, proses pendidikan Islam dijalankan berdasarkan semangat ibadah kepada Allah SWT (QS.Adz-Dzariyat : 56). Ibadah dalam ajaran Islam memiriki korelasi positif bagi pemeHharaan dan peningkatan iman dan taqwa. Setiap penganut Islam diwajibkan mencari ilmu pengetahuan untuk dipahami secara mendalam yang dalam taraf selanjutnya dikembangkan dalam kerangka ibadah guna kemaslahatan ummat manusia.
Dakm prakteknya, nilai ini juga incsti dijadikaii laiidasan olch para pendidik dalam menjalankan tugasnya. Implikasi positifnya, sekalipun para guru memiliki hak-hak tertentu sebagai konsekwensi langsung dari posisinya sebagai guru, pada saat yang sama harus tetap diingat bahwa tugas mengajar adalah suatu kewajiban agama yang harus tetap dilakukan dalam rangka ibadah. Di dalam kontcks ini, kejujuran, tanggung jawab, sikap tawadlu' dan sebagainya merupakan prinsip-prinsip yang perlu dipegangi oleh para praktisi pendidikan Islam.
2.                  Penghargaan terhadap eksistensi manusia dengan segala potensinya.
Manusia adalah makhluk Tuhan yang diciptakan dengan sebaikbaiknya (QS.At-Tin : 4) dan rupa yang scindah-indahnya (QS.At-Taghabun: 3) dilengkapi dengan berbagai organ psiko-fisik yang istimewa seperti panca indera dan hati (QS.An-NahI : 78) agar manusia bersyukur kepada AUah yang telah memberikan anugerah keistimewaan-keistimewaan tersebut.
Secara lebih iinci keistimewaan-keistimewaan manusia antara lain adalah kemampuan berfikir untuk memahami akm semesta (QS.Ar-Ra'du : 3) dan dirinya sendiri (QS.At-Rum:20-21), akaI untuk memahami tanda-tanda kekuasaan-Nya (QS.Al-Hajj:46) dan kalbu untuk mendapatkan "cahaya" tertinggi (QS. Al-Fajt : 27-30).
Dalam kaitan ini, dipahami bahwa posisi manusia sebagai khahfah dan hamba, menghendaki ptogram pendidikan yang menawatkan sepenuhnya penguasaan dmu pengetahuan secara totaktas. Di samping itu, keberadaan manusia yang terdiri dari dua unsur (materi dan tmmateri/jiwa dan raga) menghendaki pula program pendidikan yang mengacu kepada konsep equlibrium, yaitu integrasi yang uruh antara pendidikan aqliyah dan qalbiyah. Agar pendidikan Islam berhasil dalam prosesnya, maka konsep manusia dan fungsi penciptaannya dalam alam semesta harus diakomodasikan secara integral dalam konsep maupun teori pendidikan melalui pendekatan kewahyuan, empirik keilmuan dan rasional filosofis. Dalam hal ini, harus pula dipahami bahwa pendekatan keilmuan dan filosofis hanya merupakan media untuk menalar pesan-pesan Tuhan yang absolut, baik melalui ayat-ayat-Nya yang bersifat tekstual (Qur'anijyah) maupun melalui ayat-ayat-Nya secara kontekstual (Kauniyyah).
3.                  Mengedepankan prinsip kebebasan dan kemerdekaan.
Ditilik dari sejarah kelahiran Istam, nuansa pembebasan yang terkandung datam ajaran Islam begitu terasa. Islam datang bukan untuk melegitimasi status quo, sebariknya ia lahir dalam konteks sosio-politik-budaya Mekkah yang pincang untuk merubahnya menjadi tatanan yang tidak eksploitatif, adil dan egaliter serta membebaskan umat manusia dari segala bentuk penindasan.
Pendidikan secara umum dapat dipahami sebagai proses pendewasaan sosial manusia menuju pada tataran ideal. Dengan kata lain, pendidikan adalah proses memanusiakan manusia..
Penghargaan terhadap kebebasan berkembang dan berpikir maju tentu saja sangat besar, mengingat manusia merupakan mahluk yang berpikir dan memiliki kesadaran. Praktek pendidikan pun harus senantiasa mengacu pada eksistensi manusia itu sendiri. Dari situ akan terbentuk suatu mekanisme pendidikan yang demokratis dan berorientasi pada memanusiakan manusia. Dengan demikian, pendidikan bukanlah merupakan pengalihan pengetahuan (Transfer of Knowledge) semata, melainkan membantu peserta didik agar mampu mengembangkan potensinya.

5.      Fenomena setelah terbitnya Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri Tahun 1975
Pasca kemerdekaan dibentuklah departemen agama pada 3 Januari 1946
yang akan mengurus masalah keberagamaan di Indonesia, termasuk didalamnya
pendidikan, khususnya madrasah. Namun pada perkembangan selanjutnya,
madrasah walaupun sudah berada di bawah naungan Departemen Agama tetapi
hanya sebatas pembinaan dan pengawasan. Hal ini berjalan sampai berakhirnya
Orde Lama. Bahkan pada awal-awal masa pemerintahan Orde baru, kebijakan
tentang madrasah bersifat melanjutkan dan meningkatkan kebijakan orde lama.
Pada tahap ini madrasah belum dipandang sebagai bagian dari sitem pendidikan
nasional, tetapi baru bersifat lembaga pendidikan otonom di bawah pengawasan
menteri Agama. Hal ini disebabkan pendidikan madrasah belum didominasi oleh
muatan-muatan agama, menggunakan kurikulum yang belum terstandar, memiliki
struktur yang tidak seragam, dan kurang terpantaunya manajemen madrasah oleh
pemerintah.
Menghadapi kenyataan tersebut langkah pertama dalam melakukan pembaruan adalah dikeluarkannya kebijakan Menteri Agama dengan melakukan formalisasi dan strukturisasi madrasah.[35] Salah satunya seperti tercantum pada
Pasal 1 TAP MPRS No. XXVII tahun 1966 menetapkan pendidikan agama
menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah mulai dari sekolah dasar sampai ke
universitas-universitas negeri[36]. Hal ini menunjukkan bahwa upaya melakukan
formalisasi dan strukturisasi madrasah merupakan agenda awal pemerintah pada
masa Orde Baru.
Dalam dekade 1970-an madrasah terus dikembangkan untuk memperkuat
keberadaannya, namun di awal-awal tahun 1970-an, justru kebijakan pemerintah
terkesan berupaya untuk mengisolasi madrasah dari bagian sistem pendidikan
nasional. Hal ini terlihat dengan langkah yang ditempuh pemerintah dengan
mengeluarkan suatu kebijakan berupa Keputusan Presiden Nomor 34 tahun 1972
tentang "Tanggung Jawab Fungsional Pendidikan dan Latihan". Selanjutnya
Keppres ini dipertegas oleh Inpres No 15 tahun 1974 yang mengatur
operasionalnya. Dengan Keppres dan Inpres ini, penyelenggaraan pendidikan
umum dan kejuruan sepenuhnya berada di bawah tanggung jawab Mendikbud.
Secara implisit ketentuan ini mengharuskan diserahkannya penyelengaraan
pendidikan madrasah yang sudah menggunakan kurikulum nasional kepada
Depdikbud.[37]
Kebijakan yang dinilai tidak menguntungkan umat Islam ini menimbulkan
respons dan kegelisahan tokoh-tokoh Islam dan organisasi-organisasi yang
bergerak di bidang pendidikan, karena kebijakan ini akan menghilangkan
wewenang Menteri Agama di bidang pendidikan. Respons itu ditunjukan antara
lain oleh MP3A[38] yang berpendapat bahwa yang paling tepat untuk diserahi
tanggungjawab dalam penyelenggaran pendidikan madrasah adalah Depag, sebab
Menteri Agamalah yang lebih tahu konstelasi pendidikan Islam, bukan
Mendikbud atau menteri-menteri yang lain.
Melihat aspirasi umat Islam yang keberatan atas kebijakan yang
dikeluarkan pemerintah, maka pemerintah pun secara aktif menyikapi tuntutan
umat Islam tersebut, sehingga pada tanggal 26 November 1974 diadakan sidang
kabinet terbatas yang salah satu hasilnya adalah kesepakatan yang dikeluarkan
oleh tiga menteri (Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan
Menteri Dalam Negeri) yang dikenal dengan "SKB 3 Menteri" tahun 1975 tentang
"Peningkatan Mutu Pendidikan Madrasah".
Melihat fenomena lahirnya SKB 3 Menteri diatas sesungguhnya menarik
untuk dikaji bahwa kebijakan yang berupa SKB ini merupakan "keputusan
politik" atau "solusi politik" pemerintah dalam menyikapi penyelenggaran
pendidikan madrasah. Terlepas bahwa SKB 3 Menteri ini dapat juga dianggap
sebagai tonggak sejarah modernisasi madrasah. Dengan lahirnya SKB ini pula
dikotomi dua macam pendidikan agama dan umum melahirkan dualisme
pendidikan di Indonesia semakin kuat.
SKB ini dapat dipandang sebagai model solusi yang disatu sisi memberikan pengakuan eksistensi madrasah, dan di sisi lain memberikan kepastian akan berlanjutnya usaha yang mengarah pada pembentukan system pendidikan nasional yang integrative.
Akan tetapi melihat sejarah kelahiran SKB ini dan mencermati isinya nampak terlihat ada sebuah solusi politik yang mana hal itu bisa di baca pada konsiderans butir b yang berbunyi bahwa dipandang perlu mempertimbangkan penerbitan Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan serta Menteri Dalam Negeri tentang Peningkatan Mutu Pendidikan pada Madrasah, sebagai pelaksanaan dari Keputusan presiden No 34 tahun 1972 dan Instruksi Presiden No 15 tahun 1974. Dalam kenyataannya, isi SKB tidak sepenuhnya sejiwa dengan sebagian isi Keppres. Dalam SKB dinyatakan bahwa pengelolaan madrasah tetap menjadi tanggung jawab dan wewenang Menteri Agama, yang tadinya dalam Keppres kewenangan pengelolaan terhadap pembinaan pendidikan termasuk pendidikan madrasah dialihkan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Selain itu dari perspektif pembaruan pendidikan
Islam (madrasah dan pesantren) ide dan gagasan-gagasan SKB 3 Menteri pada
dasarnya merupakan kelanjutan dari gagasan-gagasan yang sama yang muncul
sebelumnya seperti yang pernah dilakukan oleh Menteri Agama KH Moh Ilyas
(1953-1959) yang memasukkan tujuh mata pelajaran umum[39] dalam kurikulum,
dan konsep pengembangan madrasah wajib belajar (MWB) tahun 1958/1959.
Di satu sisi SKB 3 Menteri itu dipandang sebagai pengakuan yang lebih
nyata terhadap eksistensi madrsah dan sekaligus merupakan langkah strategis
menuju tahapan integrasi madrasah dan Sistem Pendidikan Nasional yang tuntas.
Dengan SKB tersebut, madrasah memperoleh definisinya yang semakin jelas
sebagai lembaga pendidikan keagamaan yang menjadikan mata pelajaran agama
Islam sebagai mata pelajaran dasar yang sekurang kurangnya 30% disamping
mata pelajaran umum. Sejumlah diktum dari SKB 3 Menteri ini memang
memperkuat posisi madrasah lebih ditegaskan dengan memerinci bagian-bagian
yang menunjukkan kesetaraan madrasah dengan sekolah.
Memperhatikan uraian di atas memang nampaknya SKB 3 Menteri memberikan beberapa keuntungan kepada madrasah, akan tetapi ada konsekuensi yang harus dipenuhi oleh madrasah yang merupakan muatan atau substansi madrasah, bahwa semua madrasah harus mengubah kurikulum dan jumlah jam pelajarannya, tidak boleh kurang dari yang disediakan di sekolah umum.
Pada tahap awal setelah SKB, Depag menyusun kurikulum 1976 yang diberlakukan secara intensif mulai 1978. Kemudian kurikulum 1976 ini disempurnakan lagi melalui kurikulum 1984 sebagaimana dinyatakan dalam SK Menteri Agama No. 45 tahun 1987. Penyempurnaan ini sejalan dengan perubahan kurikulum sekolah di lingkungan Depdikbud.[40]
SKB 3 Menteri dapat dipandang sebagai tonggak integrasi madrasah ke
dalam sistem pendidikan nasional. Meskipun demikian, bukan berarti pelaksanaan
SKB 3 Menteri berlangsung tanpa hambatan. Sebagian kaum muslim khususnya kalangan ulama tradisional memandang bahwa SKB 3 Menteri telah membawa siswa madrasah serba tanggung, mereka tidak menguasai pengetahuan umum dengan baik, tidak juga menguasai pengertian agama dengan memadai. Hal ini menurut mereka, akan menyebabkan mandeknya kaderisasi ulama.
Menteri Agama (H.A. Mukti Ali) menyadari implikasi yang akan timbul dari perubahan komposisi kurikulum mata pelajaran agama dan umum 30%:70% itu terhadap penguasaan pengetahuan agama bagi peserta didik di madrasah. Oleh karena itu beliau selalu mengatakan bahwa sebaik-baik penyelenggaraan madrasah (pola SKB) berada dalam lingkungan pondok pesantren yang kegiatan belajar mengajarnya berlangsung selama 24 jam. Dengan demikian, kurikulum madrasah dapat di desain 100% untuk agama dan 100% untuk umum.[41]
Signifikansi SKB 3 Menteri ini bagi umat Islam adalah, pertama, terjadinya
mobilitas sosial dan vertikal siswa siswi madrasah yang selama ini terbatas di
lembaga-lembaga pendidikan tradisional (madrasah dan pesantren), kedua,
membuka peluang kemungkinan anak-anak santri memasuki wilayah pekerjaan
pada sektor modern.
Dengan diterbitkannya SKB 3 Menteri tahun 1975 yang bertujuan untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pendidikan madrasah, dan diterapkannya kurikulum baru pada tahun 1976 sebagai realisasi SKB 3 Menteri tersebut. SKB 3 Menteri itu telah memberikan nilai positif dengan menjadikan status madrasah yang sejajar dengan sekolah-sekolah umum. Sisi positif lain dari SKB 3 Menteri telah mengakhiri reaksi keras umat Islam yang menilai pemerintah terlalu jauh mengintervensi kependidikan Islam yang telah lama dipraktekkan umat Islam. Dengan berlakunya SKB 3 Menteri, maka kedudukan Madrasah memang telah sejajar dengan sekolah-sekolah umum. Dari segi organisasi,madrasah sama dengan sekolah umum, dari segi jenjang pendidikan, MI, MTs, dan MA sederajat dengan SD, SMP dan SMA.
Berdasar pada paparan diatas nampak jelas bahwa ciri madrasah yang paling menonjol sejak SKB 3 Menteri sampai 1987 adalah menyangkut pelaksanaan sistem pendidikan dan pengajaran yang direalisasikan dengan perubahan dan pengembangan kurikulum. Terlepas dari semua sisi positif sejumlah kebijakan yang dilakukan terhadap madrasah, akan tetapi madrasah tetap dihadapkan pada berbagai masalah, diantaranya: di satu sisi madrasah harus tetap mempertahankan mutu pendidikan agama yang menjadi ciri khasnya akan tetapi di sisi lain madrasah di tuntut untuk mampu menyelenggarakan pendidikan umum secara baik dan berkualitas supaya sejajar dengan sekolah-sekolah umum.
Kegagalan madrasah dalam memikul beban tersebut hanya akan memperkuat anggapan orang bahwa madrasah adalah semacam “sekolah serba tanggung”. Masalah lain karena lahirnya SKB 3 Menteri tersebut belum diimbangi dengan penyediaan guru, sarana dan prasarana, buku-buku dan peralatan lain dari departemen terkait. Begitu juga beban kurikulum madrasah yang menerapkan kurikulum sekolah 100% ditambah dengan kurikulum agama sebagai ciri khas telah berakibat beban belajar siswa madrasah menjadi lebih berat dan lebih banyak disbanding dengan beban belajar anak sekolah umum.
Meskipun demikian SKB 3 Menteri boleh dikatakan berhasil memodernisasi madrasah. Kesuksesan SKB 3 Menteri, mendorong pemerintah untuk terus memodernisasikan madrasah. Langkah yang ditempuh adalah dengan meningkatkan kualitas guru, mutu kurikulum dan pada akhirnya pada tahun 1993-1994 madrasah mulai menyelenggarakan EBTANAS sebagaimana sekolahsekolah umum.

BAB III
Penutup
Kesimpulan
Pondok Pesantren dalam tinjauan historis pada mulanya merupakan lembaga pendidikan penyiaran agama Islam konon tertua di Indonesia. Sejalan dengan dinamika kehidupan masyarakat, fungsi itu telah berkembang menjadi semakin kaya dan bervariasi, walaupun pada intinya tidak lepas dari fungsi semula. Berdirinya suatu pesantren mempunyai latar belakang yang berbeda, yang pada intinya adalah memenuhi kebutuhan masyarakat yang haus akan ilmu. Pada umumnya diawali karena adanya pengakuan dari suatu masyarakat tentang sosok kyai yang memiliki kedalaman ilmu dan keluhuran budi. Kemudian masyarakat belajar kepadanya baik dari sekitar daerahnya, maupun luar daerah. Oleh karena itu mereka membangun tempat tinggal disekitar tempat tinggal kyai.
Madrasah adalah salah satu sarana atau media tempat yang strategis bagi kyai/ ustadz dengan masyarakat dalam rangka menyampaikan aspek-aspek ajaran islam. Melalui madrasah juga, para raja muslim, menyampaikan program kenegaraan dan keagaman yang dianutnya.
Pendidikan nonformal dalam pendidikan Islam akan memberikan kontribusi yang sangat berarti, karena menyiapkan peserta didik untuk menguasai ilmu keislamam dan memiliki tingkat pengalaman yang baik dan sempurna dalam kehidupan sehari-hari.
Nilai – nilai Islami pada Lembaga Pendidikan di Indonesia antara lain; Keimanan dan ketaqwaan, penghargaan terhadap eksistensi manusia dengan segala potensinya, Mengedepankan prinsip kebebasan dan kemerdekaan.



DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mukti dan M. Ali Hasan. Kapita Selekta Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Pedoman  Ilmu Jaya, 2003.

Arif, Mahmud. Pendidikan Islam Transformatif. Yogyakarta: LKiS, 2008.

Asrohah, Hanun. 1999. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu

Assegaf, Abd. Rachman. Politik Pendidikan Nasional: Pergeseran Kebijakan Pendidikan Agama Islam dari Proproklamasi ke Reformasi. Yogyakarta:Kurnia Kalam, 2005.

Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 2000.

--------. Madrasah dan Tantangan Globalisasi: Perspektif Historis-Sosiologis Pendidikan Islam. Jakarta: yayasan Wakaf Paramadina. 2004

--------. Dan Saiful Umam (Ed), Menteri-menteri Agama RI: Biografi Sosial Politik. Jakarta: PPIM. 1997

Daulay, Haidar Putra. Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2004.

--------. Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia.Jakarta: Kencana, 2007.

Jabali, Fuad dan Jamhari. IAIN dan Modernisasi Islam di Indonesia. Jakarta:Logos Wacana Ilmu, 2002.

Khozin, Jejak-jejak Pendidikan Islam di Islam di Indonesia. Malang: UMM Presss, 2006.

Maksum. Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya. Pamulang Timur: Logos Wacana Ilmu. 1999.

Muhaimin. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Rajawali Pers. 2009.

Muliawan, Jasa Ungguh. Pendidikan Islam Integratif: Upaya MengintegrasikanKembali Dikotomi Ilmu an Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.

Mustafa, H.A dan Abdullah Aly. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia
Bandung: Pustaka Setia. 1998.

Nizar, Samsul. Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah PendidikanEra Rasulullah sampai Indonesia. Jakarta: Kencana, 2007.

Nurasa, "Pola dan Kebijakan Pendidikan Islam" dalam Samsul Nizar. Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah sampai Indonesia. Jakarta: Kencana, 2007.

Saridjo, Marwan. Bunga Rampai pendidikan Agama Islam. Jakarta: Amissco,1996.

--------. Pendidikan Islam dari Masa ke Masa: Tinjauan Kebijakan Publik terhadap Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Yayasan Ngali Aksara,2010.

Sholeh, Abdur Rachman. Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004

Suwendi. Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2004
.













[1] Samsul Nizar, Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam, (Ciputat: Quantum Teaching, 2005), h. 279.
[2] Taqiyuddin, Sejarah Pendidikan, Melacak Geologi Pendidikan Islam di indonesia, (Bandung: Mulia Press, 2008), H. 177-178.
[4] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), H. 191.
[5] Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai Kasus Pondok Pesantren Tebuireng, (Malang: Kalimasahada Press, 1995), h. 39.
[6] Ibid.
[7] Abuddin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Grasindo, 2001), h. 140
[8] Ibid., h. 118-119
[9] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Cet. VII; Jakarta: Balai Pustaka, 1984), h. 889.
[10] Taqiyuddin, loc. Cit, . h. 167.
[11] Muhammad Daud Ali, lembaga-Lembaga Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), h. 49.
[12] Maksum, madrasah, Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta: Logos, 1999), h. 82.
[13] H.A. Mustafa dan Abdullah Aly, Sejaran Pendidikan Islam di Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), h. 94.
[14] Samsul Nizar, Sejarah dan Pergolakan .....Loc. Cit., h. 292.
[15] Maksum, Loc. Cit., h. 132.
[16] H.A.R. Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), h. 147.
[17] Abdurrahman Saleh, Pendidikan Agama dan Keagamaan, Visi, Misi, dan Aksi, (Jakarta: Gemawindu Pancaperkasa, 2000), h. 114.
[18] Taqiyuddin, Loc. Cit., h. 168.
[19] Ibid., h. 168-169.
[20] Daprtemen Agama RI, Sejarah Madrasah; pertumbuhan, dinamika dan perkembangan di Indonesia, tahun 2004, h. 67
[21] Ary H. Gunawan, Kebijakan-Kebijakan Pendidikan di Indonesia (Jakarta : Bina
Aksara, 1986)
, hlm. 32-33.
[22] Steenbrink, Pesantren Sekolah dan Madrasah, hlm. 90-91 ; Husni Rahim, Arah
Baru Pendidikan Islam di Indonesia
(Jakarta : Logos, 2001), hlm. 52-53
[23] Direktorat Pendidikan Islam, Undang-Undang RI tentang Sistem Pendidikan Nasional (Jakarta: Departemen Agama, 2008) hal. 19
[24] Azyumardi Azra. Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta: Logos, 2000), Hlm. 117-118
[25]Samsul Nizar, Sejarah dan Pergolakan .....Op. Cit. , h. 71
[26] Ibid
[27] Ibid., h. 73-74
[28] Samsul Nizar, Loc. Cit., Sejarah Pendidikan Islam: ..... h. 284-285.
[29] Ibid., h. 284-285.
[30] Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren, Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2008) hal.23
[31] Lihat Encyclopedia Brithanica Volume 28, (New York :Leninxton Venue), hal 963
[32] Seperti dikutip oleh Una Kartawisastra, Strategi Klasifikasi Nilai , (Jakarta:P3P,1980),hlm 1
[33] Lihat Encyclopedia Britanicha Volume 28,(New York:Lenixton Avenue),hlm 963
[34] Seperti dikuti Una Kartawisastra, Strategi Klasifikasi Nilai,(Jakarta:P3P, 1980), hlm 1
[35] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era
Rasulullah sampai Indonesia
(Jakarta: Kencana, 2007), hal. 360; Lihat juga Mahmud Arif,
Pendidikan Islam Transformatif (Yogyakarta: LKis, 2008), hal. 205


[36] Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia
(Jakarta: Kencana, 2004), hal. 150


[37] Samsul Nizar, Sejarah …, hal. 360
[38] Lihat Marwan Saridjo, Pendidikan Islam dari Masa ke Masa: Tinjauan Kebijakan Publik
terhadap Pendidikan Islam di Indonesia
, (Jakarta: Yayasan Ngali Aksara, 2010), hal. 111
[39] Saridjo, Pendidikan …, hal. 92
[40] M. Ali Hasan dan Mukti Ali, Kapita Selekta Pendidikan Agama Islam. (Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya, 2003
), hal. 59
[41] Saridjo, Pendidikan Islam…, hal. 117

Komentar